Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi keberatan tim penasihat hukum Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto atas penyadapan yang dilakukan tanpa izin dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Hal itu berawal dari pendapat ahli hukum pidana yang dihadirkan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK pada sidang Hasto, Kamis (5/6/2025). Ahli berpendapat bahwa penyadapan yang dilakukan harus disertai izin Dewas apabila mengacu pada Undang-Undang (UU) No.19/2019 tentang KPK, sebelum diubah dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.70/PUU-XVII/2019 pada 2021 lalu.
Menurut Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, pendapat ahli dari tim JPU KPK itu merupakan dinamika persidangan. Oleh sebab itu, pihak terdakwa maupun penuntut umum secara subyektif memandang keterangan ahli dari sudut yang berbeda.
"Seluruh tindakan penyidikan di antaranya penyadapan dan tindakan lainnya terkhusus dengan upaya paksa yang dilakukan, di antaranya pengggeledahan, penyitaan, dan penahanan, tentunya dilakukan penyidik secara berhati-hati dengan mengedepankan penghormatan atas hak asasi manusia. Pun dalam perjalanannya jika dianggap pelaksanaan kegiatan tersebut dipandang ada kekeliruan dapat diuji melalui gugatan praperadilan," ujar Budi kepada wartawan, Senin (9/6/2025).
Budi menyampaikan, tim JPU KPK dalam menjalankan tugasnya di persidangan dengan beban pembuktian yang berada di pundaknya tentu memiliki cara, pendekatan, serta strategi sendiri dalam rangka menyakinkan Majelis Hakim.
"Bahwa peristiwa pidana yang terjadi, dengan menghadirkan alat-alat bukti yang sah, maka dapat disimpulkan bahwa benar terdakwa lah [Hasto] pelakunya," lanjutnya.
Baca Juga
Budi mengatakan bahwa perbedaan tafsir terhadap pendapatn ahli akan dituangkan dalam kesimpulan oleh masing-masing pihak yang terlibat dalam persidangan. Hal itu akan dimuat dalam tuntutan JPU maupun nota pembelaan dan pledoi dari terdakwa, serta Majelis Hakim melalui putusan.
Pendapat Saksi Ahli
Sebelumnya, pada sidang dengan agenda keterangan ahli, Kamis (5/6/2025), ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar mengatakan bahwa hasil penyadapan menjadi tidak sah sebagai alat bukti bila diperoleh penyidik KPK tanpa seizin Dewas.
Hal ini disampaikan Fatahillah saat dihadirkan JPU KPK sebagai ahli dalam sidang perkara suap penetapan anggota DPR 2019–2024, serta perintangan penyidikan kasus Harun Masiku, di mana Hasto merupakan terdakwa.
Fatahillah mengatakan, tidak sahnya hasil penyadapan berlaku jika diperoleh dalam kurun waktu di bawah periode 2021 atau tepatnya setelah MK membatalkan pasal di revisi UU KPK yang mengatur perihal penyadapan diubah harus seizin Dewas.
"Berarti setelah putusan MA, ke depan, engga perlu lagi penyadapan KPK izin Dewas begitu ya?," tanya penasihat hukum Hasto, Febri Diansyah di ruang sidang Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).
"Tapi perlu memberitahukan," jawab Fatahillah.
Fatahillah lalu menuturkan, apabila hasil penyadapan diperoleh sebelum MK membatalkan undang-undang tersebut, maka, penyidik mesti mengantongi izin. "Ya seharusnya mendapatkan izin ya," jelasnya.
"Kalau tidak ada izin Dewas sah enggak bukti penyadapan itu?," tanya Febri yang juga mantan Juru Bicara KPK.
"Mungkin dalam konteks ini kalo tidak menggunakan izin tersebut ya tidak sah," jawab Fatahillah.
Lanjut Fatahillah, penyidik KPK mesti tunduk dengan aturan yang mengatur proses penyadapan. Hal ini diperlukan supaya alat bukti yang diperoleh bisa digunakan secara sah.
"Tadi kan disebut KPK berwenang melakukan penyadapan di tahap penyelidikan, penuntutan, dan seterusnya. Kalau penyelidikannya dilakukan sejak tanggal 20 Desember tahun 2019. Sementara Undang-Undang No.19 ini diundangkan pada 17 Oktober 2019, artinya sebelumnya. Wajib tunduk engga proses penyadapan yang dimulai di penyelidikan 20 Desember dengan undang undang ini, undang-undang KPK?," tany Febri.
"Ya kalau dia dimulainya setelah undang-undang KPK, ya tunduk," jawab Fatahillah.
Fatahillah kemudian menyampaikan bahwa perolehan alat bukti harus dilihat justifikasi atau alasan atau dasar hukum yang sah dan dapat diterima. Dia menjelaskan, alat bukti tidak bisa digunakan dalam proses persiangan apabila tak memiliki justifikasi.
"Kalau tidak ya berarti alat buktinya tidak bisa dipakai atau ada hal yang memang tidak bisa digunakan dalam persidangan. Tapi kalau ada justifikasinya dia bisa tetap dilanjutkan dalam proses persidangan," kata Fatahillah.
Untuk diketahui, Hasto didakwa melakukan perintangan penyidikan terhadap kasus suap penetapan anggota DPR 2019–2024, yang melibatkan mantan Caleg PDIP Harun Masiku. Harun kini masih berstatus buron.
Hasto juga didakwa ikut memberikan suap kepada di antaranya anggota KPU 2017–2022 Wahyu Setiawan, untuk meloloskan Harun sebagai anggota DPR pergantian antarwaktu (PAW) pada daerah pemilihan (dapil) Sumatera Selatan I, menggantikan Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia.