Bisnis.com, JAKARTA -- Setelah sekian lama, Bank Indonesia (BI) kembali diguncang kasus korupsi. Kasus kali ini, sejatinya tidak terkait dengan tugas dan fungsi BI, melainkan persoalan penyaluran dana corporate social responsibility atau CSR) yang belum jelas nilainya.
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi alias KPK, bahkan telah melakukan penggeledahan kantor BI. Mereka menyisir ruangan yang diindikasikan kuat terkait dengan perkara tersebut. Salah satunya, ruang kerja milik Gubenur BI, Perry Warjiyo.
Kalau menilik keterangan Direktur Penindakan dan Ekskusi KPK, Rudi Setiawan, penyidik lembaga antikorupsi berhasil mengamankan barang bukti saat penggeledahan tersebut. Konon, barang bukti yang diperoleh berupa dokumen fisik dan elektronik.
"Maksud penggeledahan tersebut kami dalam kegiatan mengungkap perkara tindak pidana terkait CSR Bank Indonesia," ujarnya.
Terlepas dari proses yang sedang berlangsung, penggeledahan yang dilakukan oleh penyidik KPK di ruangan Gubernur BI, tentu telah mempertaruhkan reputasi Bank Indonesia. BI adalah institusi strategis yang memiliki fungsi untuk pengelolaan bidang moneter, sistem pembayaran dan stabilitas sistem keuangan.
Artinya tanpa transparansi penegakan hukum yang jelas, proses penanganan perkara dugaan korupsi CSR BI bisa merusak kepercayaan publik terhadap Bank Indonesia. Paling parah adalah menurunkan kepercayaan investor pasar keuangan baik lokal maupun global, yang nanti ujung-ujungnya bisa merusak reputasi BI.
Baca Juga
Selain itu, proses penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK itu juga terjadi ketika kondisi nilai tukar rupiah yang nyungsep sedalam-dalamnya. Kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, pada hari ini, Kamis (19/12/2024), senilai Rp16.242 per US$1. Ini adalah salah satu capaian terburuk selama 10 tahun terakhir. Tahun 2014, rata-rata kurs dolar masih di kisaran Rp11.000 per dolar AS.
Gubenur BI Perry Warjiyo mengakui aksi penggeledahan oleh Tim Penyidik KPK di kantornya memberikan pengaruh terhadap pergerakan nilai tukar rupiah pada pekan ini. "Apakah berpengaruh terhadap kondisi pasar? Segala berita akan berpengaruh terhadap kondisi pasar, termasuk nilai tukar rupiah," ujarnya.
Sejak Senin lalu, rupiah telah bertengger di atas Rp16.000 per dolar AS. Pada hari ini saja, rupiah sempat tembus lebih dari Rp16.100 per dolar AS.
Namun demikian, rupiah ditutup menguat tipis 0,02% atau 3 poin ke level Rp16.097,5 per dolar AS, sejalan dengan keputusan Bank Indonesia untuk menahan suku bunga acuan atau BI Rate di 6%. Pada saat yang sama, indeks dolar stagnan di posisi 106,96.
Perry menyampaikan terhadap sentimen tersebut, BI tetap berkomitmen menjaga stabilitas nilai tukar rupiah melalui intervensi, pembelian Surat Berharga Negara di pasar sekunder, dan langkah lain seperti penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Dia juga membenarkan bahwa KPK mendatangi kantornya pada Senin (16/12/2024) malam hari dan menghormati proses tersebut. Pihaknya juga bersikap kooperatif saat KPK hendak membawa sejumlah dokumen terkait dugaan penyalahgunaan dana corporate social responsibility (CSR) yang BI salurkan.
"Kedatangan tersebut, informasi yang kami terima KPK membawa dokumen-dokumen yang terkait dengan CSR tadi," tutur Perry.
Bukan Kasus Pertama
Korupsi CSR bukan kasus atau skandal pertama yang menyeret Bank Indonesia. Jauh sebelum kasus itu terjadi, pada transisi Orde Baru ke era reformasi terjadi skandal besar dalam sejarah ekonomi Indonesia, yakni Bantuan Likuiditas Bank Indonesia alias BLBI. Kasus ini ditengarai merugikan negara triliunan rupiah.
BLBI bermula dari keputusan Presiden Soeharto menyuntik dana Rp144,5 triliun kepada 48 bank yang hampir rontok karena kesulitan likuiditas. Sebagian besar bank tersebut didominasi milik swasta.
Persoalan kemudian muncul setelah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dikeluarkan pada 2000 menemukan BLBI merugikan keuangan negara hingga Rp138,4 triliun. Jumlah itu setara 95,78 persen dari BLBI yang disalurkan senilai Rp144,5 triliun.
Artinya, hanya Rp6 triliun dana BLBI yang balik ke negara. Selebihnya, ‘uang panas’ itu dilarikan oleh para debitur dan obligor BLBI ke berbagai tempat. Paling lazim dana-dana tersebut dilarikan ke negara suaka pajak seperti Singapura dan Hong Kong. Kasus ini pernah dibawa ke ranah pidana. Namun kandas di Mahkamah Agung. Proses penyelesaiannya pun dialihkan ke Satgas BLBI.
Setelah BLBI mencuat, ada kasus yang menyeret nama Syahril Sabirin. Kasus ini terkait dengan Bank Bali dan Bank Dagang Nasional Indonesia. Dilansir dari laman Antikorupsi.org, kasus itu melibatkan Syahrul Sabirin yang merupakan Gubernur BI (1998-2003) dan taipan Djojo Tjandra. Keduanya telah divonis bersalah oleh Mahkamah Agung (MA).
Kasus Bank Century juga menjadi banyak perhatian. Perkara korupsi itu menyeret nama Bank Indonesia, termasuk salah satunya deputinya bernama Budi Mulya. Budi Mulya bahkan telah divonis dalan perkara itu. Kendati demikian, perkara Century tidak berhenti di situ dan telah menyeret nama-nama beken antara lain Sri Mulyani Indrawati hingga Budiono yang waktu itu menjabat Gubenur BI.
Kasus lain, yang juga menyeret nama Bank Indonesia adalah perkara suap cek pelawat terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior BI tahun 2004. Salah satu terpidana kasus ini adalah, Miranda Swaray Goeltom. Dia terbukti ikut membantu Nunun Nurbaeti Daradjatun memberikan cek pelawat ke anggota DPR dalam pemilihan deputi senior BI.
Adapula kasus Burhanuddin Abdullah yang merupakan mantan Gubernur BI dan Deputi BI Aulia Pohan, besan dari Presiden ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang masuk penjara dalam kasus penarikan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia.
Modus Korupsi Dana CSR
Sementara itu, dalam kasus terbaru, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga aliran dana kasus korupsi corporate social responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) hingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diterima oleh yayasan.
Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Rudi Setiawan menjelaskan, yayasan yang diduga menerima dana CSR dari BI itu tidak sesuai atau proper.
"Jadi BI itu punya dana CSR, kemudian beberapa persen dari pada sebagian itu diberikan ke yang tidak proper. Kurang lebihnya seperti itu," jelasnya kepada wartawan di Gedung Juang KPK, Jakarta, Selasa (17/12/2024).
Rudi pun tidak menampik bahwa dana CSR yang diterima oleh yayasan-yayasan dimaksud turut berasal dari institusi negara lain, di antaranya OJK. Institusi-institusi itu diduga merupakan mitra kerja Komisi Keuangan DPR. "Ya, ya [termasuk OJK] karena ada, itu mereka adalah mitranya di beberapa tempat lah," ungkap Perwira Polri berpangkat Inspektur Jenderal (Irjen) itu.
Ke depan, lanjut Rudi, lembaga antirasuah akan mencari bukti-bukti terkait kasus tersebut di berbagai tempat. Bukti utamanya akan dicari dari lembaga pemberi CSR serta penerimanya. "CSR ini di mana sumbernya, bagaimana keputusannya, berapa besarannya? Diberikan ke siapa itu pasti akan kami cari terus ke sana," papar Rudi.
Adapun Rudi juga menyebut lembaganya telah menetapkan dua orang tersangka pada kasus dugaan korupsi CSR tersebut. Meski demikian, dia tidak memerinci lebih lanjut siapa saja pihak yang ditetapkan tersangka.
Untuk mencari bukti-bukti kasus tersebut, penyidik KPK telah menggeledah kantor BI. Salah satu ruangan yang digeledah adalah ruangan kerja Gubernur BI Perry Warjiyo, di mana ditemukan sejumlah bukti elektronik dan dokumen terkait dengan perkara.
Berdasarkan pemberitaan Bisnis sebelumnya, KPK tengah mengusut kasus dugaan korupsi corporate social responsibility (CSR) dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sementara itu, Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur mengungkap kenapa pemberian CSR itu berujung pada pengusutan secara pidana oleh KPK. Dia menjelaskan bahwa dana CSR diberikan oleh suatu institusi atau dalam hal ini perusahaan untuk kegiatan sosial yang berdampak ke masyarakat.
Apabila dana CSR disalurkan dengan benar, terang Asep, maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Namun, ketika CSR itu disalurkan bukan untuk peruntukannya, maka di situ letak dugaan korupsinya.
Seperti diketahui, BI dan OJK merupakan dua institusi negara yang kegiatannya berasal dari APBN. "Artinya ada beberapa, misalkan CSR ada 100, yang digunakan hanya 50. Yang 50 [lainnya] tidak digunakan. Yang jadi masalah tuh yang 50-nya yang tidak digunakan tersebut. Digunakan misalnya untuk kepentingan pribadi, nah itu yang menjadi masalah," terang Asep.