Bisnis.com, JAKARTA – Kalangan akademisi mengusulkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk melakukan sinkronisasi soal Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tentang rokok.
Guru Besar Universitas Sahid Jakarta, Kholil menjelaskan urutan perundang-undangan telah jelas menetapkan kedudukan yang lebih tinggi, yaitu dimulai dari Undang-Undang Dasar (UUD), UU, kemudian PP, dan selanjutnya.
Aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2024 ini disinyalir akan bertabrakan dengan Undang-Undang (UU), yang kedudukannya lebih tinggi secara hukum.
"Mestinya peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi," ujar Kholil dalam keterangannya, Minggu (17/12/2024).
Dia berpendapat ada dua kebijakan pada Rancangan Permenkes yang berisiko bertentangan dengan beberapa aturan yang lebih tinggi. Salah satunya adalah rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang berseberangan dengan UU No. 20/2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Kholil menjelaskan UU tersebut menyatakan bahwa merek dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna untuk membedakan.
Baca Juga
Selain itu, lanjutnya, Rancangan Permenkes dan PP 28/2024 juga bertentangan dengan UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa konsumen berhak mendapatkan informasi dengan jelas dan detail seputar produk yang dibeli dan dikonsumsi.
"Artinya, hak konsumen untuk mendapatkan info produk secara jujur, benar, dan lengkap tidak bisa diperoleh jika Rancangan Permenkes diterapkan," ujarnya.
Kholil mengusulkan agar Rancangan Permenkes bisa disinkronisasi dengan aturan-aturan yang lebih tinggi hierarkinya. Terlebih, Presiden Prabowo Subianto telah mendesak agar mengkaji ulang semua aturan perundang-undangan agar harmonis dan sinkron sebagai langkah menuju Indonesia Emas 2045.
Dia menilai kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek akan merugikan bagi konsumen. Masyarakat tidak akan bisa membedakan satu produk dengan produk lain sehingga bisa menyamarkan antara produk legal dan ilegal.
"Ini perlindungan hukumnya jadi lemah, dan tentu akan muncul produk ilegal yang banyak karena sama semua mereknya," katanya.