Langit biru Baku, Ibu Kota Azerbaijan—salah satu negara penghasil minyak dan gas (migas) terbesar di dunia—menjadi saksi gelaran Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada sepekan terakhir ini.
Ini ketiga kalinya secara berturut-turut negara-negara penghasil migas terbesar di dunia menjadi tuan rumah pelaksanaan konferensi tahunan yang merupakan pertemuan formal negara peserta United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau yang kerap disebut sebagai Conference of The Parties (COP).
Dubai, Uni Emirat Arab & Sharm El Sheikh, Mesir menjadi tuan rumah COP tahun sebelumnya, masing-masing COP28 dan COP27. Tahun ini, giliran Baku, Azerbaijan yang menjadi tuan rumah COP29.
Gelaran tersebut selalu ditunggu-tunggu karena merupakan tempat dan momentum untuk melahirkan keputusan penting dalam mengatasi perubahan iklim. Dua perjanjian penting yang pernah dihasilkan dari COP adalah Paris Agreement atau Persetujuan Paris dan Protokol Kyoto.
Paris Agreement dihasilkan oleh COP21 di Paris pada 2015. Kala itu, sebanyak 196 pihak sepakat untuk menjalankan misi pengurangan emisi gas demi mengantisipasi perubahan iklim, dan mulai berlaku pada 4 November 2016.
Beberapa isi kesepakatan tersebut adalah pembatasan kenaikan suhu global hingga di angka minimum 1,5 derajat Celcius dan di bawah 2 derajat Celcius untuk tingkat pra industri, pengurangan tingkat emisi Gas Rumah Kaca dan aktivitas serupa sebesar 43% pada 2030 dan penetapan target pengurangan emisi oleh semua negara.
Indonesia sendiri telah menandatangani Perjanjian Paris pada 22 April 2016. Pada saat itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mewakili Presiden Joko Widodo, dalam Upacara Penandatanganan Tingkat Tinggi Perjanjian Paris di Markas Besar PBB, New York. Salah satu komitmen penting Indonesia adalah mengurangi emisi GRK sebesar 29% dengan mengandalkan sumber pendanaan hingga 41% dengan dukungan internasional.
Adapun, Protokol Kyoto lahir jauh sebelumnya. Protokol Kyoto dihasilkan dalam COP3 pada 1997, sebagai bentuk kekhawatiran dunia internasional terhadap perubahan iklim. Para pihak sepakat mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca. Kendati kerap dianggap gagal, Protokol Kyoto justru menjadi dasar bagi perjanjian setelahnya untuk melawan perubahan iklim.
Momen COP29 di Baku kian menjadi penting karena diharapkan dapat menelurkan kebijakan multilateral lanjutan yang nyata dalam mengatasi krisis perubahan iklim. Hanya saja, gegap gempita COP28 di Dubai pada tahun lalu sepertinya tidak berlanjut pada tahun ini. COP29 di Baku, Azerbaijan, seperti kehilangan pesonanya. Kontroversi Azerbaijan, salah satu negara penghasil migas terbesar di dunia, sebagai tuan rumah turut mewarnai COP29 tahun ini.
Dibayangi Sejumlah Isu
COP 29 resmi dibuka pada Minggu (11/11/2024) dan akan berakhir pada Jumat (22/11/2024). Baku Olympic Stadium adalah tempat yang dipilih untuk pelaksanaan COP 29.
Berdasarkan pantauan Bisnis, sejak gelaran COP 29 dibuka, cuaca di Baku bergerak di kisaran 9 derajat Celcius hingga 13 derajat Celcius. Semilir angin sangat terasa di kota yang dikenal sebagai Kota Angin di pesisir Kaspia itu.
Pada sepekan pertama pelaksanaan COP, cuaca didominasi berawan dan mendung. Namun, terik matahari sempat juga menghiasi indahnya kota tersebut. Langit biru pun terlihat menantang dengan indahnya. Bersih. Padahal, negara ini adalah penghasil migas, sumber bahan bakar fosil, penyebab utama perubahan iklim yang justru jadi sorotan di setiap gelaran COP.
Dari penuturan sejumlah pihak yang ditemui, bila dibandingkan dengan peserta yang hadir dalam COP28 di Dubai, angkanya tidak begitu besar. Kalah jauh. Delegasi dari berbagai negara yang hadir dalam COP 28 dilaporkan mencapai 97.000 orang. Dalam COP 29, jumlah delegasi yang hadir diperkirakan hanya 50.000 orang.
Kondisi ini bisa dimaklumi. Pasalnya, pada periode yang nyaris sama, ada 2 gelaran skala internasional yang juga telah dan bakal berlangsung. Berjarak sekira 13.960 KM dari Baku, telah berlangsung pula gelaran Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) di Lima, Peru. KTT APEC dilaksanakan sekak Minggu (10/11/2024) hingga Sabtu (16/11/2024).
Sementara itu, mulai Senin (18/11/2024) hingga Selasa (19/11/2024), Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 juga akan berlangsung. KTT G20 kali ini digelar di Rio de Janeiro, Brasil. Sekira 11.800 KM dari Baku. Kurang lebih sekitar 4.800 KM jaraknya antara Rio de Janeiro dan Lima.
Entah karena kebetulan atau tidak, banyak kepala negara dan pemimpin pemerintahan yang absen dari COP29. Sebut saja Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Pemimpin China Xi Jinping, Presiden Prancis Emmanuel Macron, Perdana Menteri India Narendra Modo, Presiden Rusia Vladimir Putin, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, Perdana Menteri Australia Anthony Albanese, Kanselir Jerman Olaf Scholz, Raja Charles dari Inggris, hingga Presiden Brasil Luis Inacio Lula da Silvia. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dan Presiden Afrika Selatan Chris Ramaphosa juga tidak hadir dalam COP29.
Absennya sejumlah nama besar tersebut tak terlepas dari alasan masing-masing. Presiden AS Joe Biden, misalnya. COP29 menjadi tahun kedua Biden tidak turut serta di dalamnya. Delegasi Negara Paman Sam dipimpin oleh Penasihat Senior Presiden untuk Kebijakan Iklim Internasional, John Podesta.
AS memang tengah dalam masa transisi. Donald Trump telah dinyatakan menang pemilu AS pada 5 November lalu. Trump mengalahkan Kamala Harris. Kemenangan Trump tersebut menjadi babak baru bagi AS dalam misi perubahan iklim. Pasalnya, Trump telah menarik AS dari Kesepakatan Paris ketika menjabat sebagai Presiden AS pada periode 2017-2020.
Ketika Biden mengambil alih kursi Presiden, AS kembali bergabung dalam kesepakatan yang menetapkan target pembatasan pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius itu. Belakangan, setelah menang pemilu, Trump kembali melempar isyarat. AS akan kembali menarik diri dari Kesepakatan Paris.
Tanda tanya terkait dengan sikap AS dan arah kebijakan iklim Trump ke depannya memang mewarnai diskusi di sela-sela COP29. Panel diskusi yang dihadiri delegasi AS sebagai pembicara selalu menarik disimak, karena tidak sedikit yang ingin mencari informasi terkait dengan kejelasan sikap AS. Namun, tampaknya delegasi yang hadir pun cenderung berhati-hati. Bahkan, dalam satu sesi panel diskusi yang digelar di Paviliun Indonesia, salah seorang pembicara dari AS, hanya membacakan naskah yang telah disiapkan.
“Delegasi yang hadir sekarang mungkin tidak akan duduk lagi dalam pemerintahan mendatang, sehingga mereka bersikap lebih hati-hati. Jadi, wajar saja, mereka bersikap lebih pasif,” ujar salah seorang narasumber kepada Bisnis.
Pemandangan berbeda juga terlihat di Paviliun AS yang berlokasi persis berdekatan dengan Paviliun Brasil. Sebagai calon tuan rumah COP30, Paviliun Brazil tampil meriah. Hampir setiap hari, pengunjung tumpah ruah di paviliun tersebut. Suasana agak berkebalikan dengan Paviliun AS.
Arah komitmen AS terhadap perubahan iklim ke depannya menjadi kekhawatiran tersendiri bagi banyak pihak. Apalagi di tengah upaya para pihak mencari pendanaan iklim dari negara-negara maju untuk mendukung negara-negara berkembang.
Utusan Khusus Presiden Bidang Perdagangan Mari Elka Pangestu yang juga hadir dalam COP29 mengungkapkan negara berkembang membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk mempercepat aksi-aksi dalam mengatasi perubahan iklim.
Mari mengingatkan kembali komitmen investasi senilai US$100 miliar di seluruh dunia berdasarkan Kesepakatan Paris. Angka tersebut jauh panggang dari api, mengingat dana yang dibutuhkan untuk pendanaan aksi iklim di seluruh dunia mencapai US$1 triliun hingga US$2 triliun. “Ada gap yang sangat besar.”
Sementara itu, Macron absen dari COP29 karena faktor lokasi pertemuan konferensi iklim tersebut. Hubungan Prancis dan Azerbaijan diwarnai ketegangan sejak tahun lalu setelah Paris mengutuk serangan Azerbaijan terhadap separatis Amerika di wilayah Karabakh.
Presiden Brasil Lula da Silvia, tuan rumah COP 30, absen dari COP 29 karena alasan kesehatan. Lula mengalami cedera kepala belum lama ini. Begitu pula dengan King Charles. Raja Inggris tersebut masih dalam masa pemulihan dari kanker, sehingga tidak hadir di Baku.
Selain absen dengan berbagai alasan, ada juga yang menarik diri dari COP29. Dia adalah James Marape, Perdana Menteri Papua Nugini. Pada Agustus lalu, Papua Nugini mengumumkan bahwa negara tersebut tidak hadir dalam COP29. Ini sebagai bentuk protes negara tersebut terhadap negara-negara besar, karena menganggap negara besar kurang memberi dukungan yang cepat dan responsif bagi korban perubahan iklim. Bahkan, ajang tersebut dinilai hanya buang-buang waktu saja.
Posisi Indonesia
Presiden Prabowo Subianto juga absen alias tidak hadir dalam COP29 di Baku. Prabowo mengutus Hashim Djojohadikusumo, Utusan Khusus Presiden Bidang Energi dan Lingkungan Hidup, sebagai Ketua Delegasi RI. Hashim juga adalah pengusaha sekaligus adik kandung Presiden Prabowo.
Pada saat gelaran COP29 di Baku tersebut, Prabowo tengah melakukan kunjungan kerja ke luar negeri. Ini merupakan kunjungan kerja perdananya setelah menjabat sebagai Presiden. Prabowo telah bertolak dari Indonesia sejak Jumat (8/11/2024) menuju ke Beijing, China; Washington, AS; dan Lima, Peru. Usai KTT APEC di Lima, Prabowo dan rombongan bertolak ke Rio de Janeiro, Brasil; berlanjut ke Inggris, dan mampir ke beberapa negara Timur Tengah.
Sebagai Ketua Delegasi RI, Hashim membuka Paviliun Indonesia di sela-sela COP29. Pidato Hashim pun ditunggu-tunggu. Selain petinggi perusahaan dari Indonesia, tidak sedikit negara lain yang ikut mendengarkan pidato tersebut, untuk mengetahui komitmen dan kebijakan iklim terbaru yang disiapkan oleh pemerintahan Prabowo Subianto.
Secara umum, pemerintahan Prabowo berkomitmen melanjutkan apa yang telah dicapai oleh pemerintahan Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Joko Widodo. Namun, yang menarik, Hashim juga membocorkan sejumlah inisiasi dan pesan yang dititipkan Prabowo soal arah kebijakan lingkungan Indonesia.
Salah satu kebijakan yang disiapkan untuk memastikan komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi dan transisi ke energi bersih, kata Hashim, mencakup rencana pembangunan pembangkit listrik baru dengan kapasitas energi 100 gigawatt dalam 15 tahun ke depan. Dari target tersebut, 75% di antaranya akan bersumber dari energi baru terbarukan yang mencakup energi surya, air, panas bumi dan nuklir.
Ada pula komitmen Indonesia untuk mengembangkan carbon capture and storage atau penyerapan karbon. Hashim mengatakan rencana ini didukung oleh potensi akuifer garam (saline aquifers) yang besar. Sebagai catatan, saline aquifers merupakan lapisan bawah tanah yang mengandung air asin dengan kadar garam tinggi. Air ini memiliki potensi sebagai tempat penyimpanan karbon dioksida (CO2).
“Kami estimasi kapasitas penyimpanan karbon kita mencapai 500 miliar ton CO2. Sebagai perbandingan betapa besarnya kapasitas ini, emisi karbon negara tetangga Singapura adalah 40 juta ton per tahun,” lanjutnya.
Hashim mengatakan sejumlah perusahaan multinasional telah menyampaikan ketertarikan untuk berinvestasi dalam pengembangan penyerapan karbon ini. Beberapa di antaranya adalah ExxonMobil dan British Petroleum (BP).
“Indonesia juga akan mengembangkan jaringan pintar ramah lingkungan [green smart grid] dengan penambahan 42 gigawatt tenaga angin dan surya, meningkatkan kapasitas energi hingga tiga kali lipat, sehingga totalnya menjadi 75 gigawatt."
Komitmen Indonesia tersebut juga disampaikan Hashim kala berbicara di dalam COP29 World Leaders Summit. Masing-masing kepala negara dan kepala pemerintahan atau yang mewakili diberi kesempatan 3 menit untuk menyampaikan pidatonya. Hashim, yang mewakili Prabowo, menyampaikan beberapa agenda iklim Indonesia pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Target pertumbuhan ekonomi melampaui 8% per tahunnya juga disampaikan. Untuk mencapai target tersebut, Indonesia juga berkomitmen untuk memastikan pembangunan yang ramah lingkungan, berketahanan, dan inklusif bagi seluruh rakyat Indonesia seiring dengan tujuan net zero pada 2060 mendatang.
Seiring dengan hal tersebut, Pemerintah Indonesia telah menyiapkan kebijakan dan program yang akan dijalankan untuk mencapai tujuan pembangunan yang tumbuh secara optimal dan juga memenuhi persyaratan hijau. "Upaya kita memerlukan tiga hal pendukung, yaitu kerangka kebijakan pertumbuhan ekonomi hijau komprehensif yang sedang kami selesaikan, investasi besar-besaran senilai US$235 miliar dan kolaborasi internasional," kata Hashim.
Komitmen Pertamina
Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi menegaskan Indonesia tetap konsisten dalam mencapai target Net Zero Emmision. Panas bumi menjadi sumber energi yang penting untuk menjadi sumber energi bersih yang stabil untuk memasok seluruh kebutuhan listrik nasional.
"Potensi di Indonesia sangat besar, dengan posisi strategis yang memiliki potensi panas bumi lebih dari 23 gigawatt, di mana saat ini baru dimanfaatkan sekitar 2,5 gigawatt atau sekitar 11%," kata Eniya dalam sambutannya di panel Energy Transition: Innovations, Sustainability Approaches, Strategic Efforts and Initiatives to Achieve Indonesia's Climate Goals COP 29, Rabu (13/11/2024).
Eniya menegaskan dengan memanfaatkan panas bumi maka penurunan emisi bisa mencapai 22 juta ton CO2 pada tahun 2030. Pemerintah berkomitmen untuk mendukung semua pihak dalam pengembangan panas bumi dalam negeri.
PT Pertamina (Persero) menjadi salah satu BUMN yang turut mendukung upaya penurunan emisi.
Direktur Strategi, Portofolio, dan Pengembangan Usaha Pertamina Salyadi Dariah Saputra mengungkapkan Pertamina terus melakukan upaya strategis untuk mereduksi emisi salah satunya melalui pengurangan gas buang metana dari seluruh lini operasional perusahaan.
“Upaya pengurangan gas metana ini dilakukan melalui surat dukungan (endorsement leter) terhadap Zero Routine Flaring Initiative (ZRF). Pertamina telah berkomitmen mencapai ZRF pada 2030 dengan pengurangan emisi metana sebesar 40% dari vaselin 2021.
Komitmen Pertamina juga diungkapkan oleh CEO of Pertamina New & Renewable Energy John Anis. PNRE, ujar John Anis, merupakan pionir dalam bisnis rendah karbon di Pertamina grup.
"Kami memiliki banyak program, tetapi ini didasarkan pada apa yang kami sebut sebagai strategi pertumbuhan ganda. Karena kita masih memerlukan bahan bakar fosil, namun lebih bersih, dan pada saat yang sama kita harus mulai beralih ke bisnis rendah karbon. Jadi kami memaksimalkan bisnis tradisional sekaligus mengembangkan bisnis rendah karbon," kata John Anis
Dia juga menjelaskan PNRE telah memiliki peta jalan pengembangan bioetanol hingga tahun 2031 untuk mendukung dekarbonisasi di sektor transportasi. Hingga tahun 2034 mendatang, John menjelaskan proyeksi demand atas biofuel bisa mencapai 51 juta liter.
Saat ini, Pertamina NRE bekerja sama dengan PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) berencana membangun pabrik bioetanol di Banyuwangi dengan kapasitas produksi 30.000 kiloliter (KL) per tahun.
"Untuk bioetanol, kita memiliki ambisi meningkatkan kapasitas produksi, salah satunya dengan reaktivasi pabrik di Banyuwangi, Glenmore, dengan mengambil molase sebagai bahan baku bioetanol tanpa mengganggu produksi gula," kata John.
Sedangkan di bisnis karbon, Pertamina NRE saat ini telah menjadi pemain utama perdagangan kredit karbon di Indonesia dengan menguasai pangsa pasar 93 persen. Kredit karbon Pertamina NRE bersumber tidak saja dari pembangkit listrik energi rendah karbon tapi juga bersumber dari nature based solutions (NBS). Sejak mempelopori perdagangan karbon di bursa karbon tahun lalu, sebanyak 864 ribu ton CO2 kredit karbon saat ini telah terjual habis. Dalam inisiatif NBS, Pertamina telah bermitra dengan partner strategis.
Sementara itu, untuk mencapai transisi energi yang berkelanjutan, Pertamina juga mendorong pemanfaatan sumber energi yang paling kunci, yakni panas bumi.
CEO PT Pertamina Geothermal Energi Tbk. (PGEO) Julfi Hadi menjelaskan panas bumi bahkan mampu menjadi baseload sumber kelistrikan. Sumber energi yang stabil dan besar melalui panas bumi menjadi kunci dalam mendukung pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan pemerintah.
"Panas bumi adalah salah satu sumber energi yang terbukti untuk bisa menjadi baseload. Kita harus membangunnya sekarang. Apalagi, dengan rencana pertumbuhan ekonomi yang ditopang dari industri hilirisasi serta manufaktur, membutuhkan pasokan listrik yang stabil dan bersih. Panas bumi merupakan jawabannya," kata Julfi.
Julfi juga menyampaikan PGEO menargetkan pengembangan panas bumi Pertamina mencapai 1,5 GW pada tahun 2030 demi mencapai target tersebut berbagai strategi dilakukan termasuk strategi investasi.
Di sela-sela COP29, Pertamina mendeklarasikan Zero Routine Flaring (ZRF) Initiative yang diprakarsai oleh World Bank, sebagai bagian dari upaya perusahaan untuk mendukung transisi energi berkelanjutan.
Pertamina menjadi satu-satunya perusahaan Indonesia yang mendukung ZRF Initiative, di mana upaya ini merupakan langkah tegas Pertamina dalam mencapai Net Zero Emissions pada tahun 2060 atau bahkan lebih cepat.
"Pertamina merasa terhormat untuk secara resmi menyatakan dukungan terhadap Zero Routine Flaring Initiative yang diinisiasi oleh World Bank. Komitmen ini adalah langkah nyata Pertamina dalam menurunkan emisi dan berkontribusi pada upaya global untuk mengurangi dampak perubahan iklim," ujar Julfi.
Nasib COP30
Hingga tulisan ini diterbitkan, COP29 belum usai. Konferensi tersebut baru akan ditutup pada Jumat (22/11/2024). Semua mata bakal tertuju pada hasil yang akan dicapai dalam COP29, di tengah berbagai dinamika yang terjadi, termasuk perubahan pemerintahan Amerika Serikat dan arah kebijakan iklim di Negara Paman Sam tersebut.
Selepas Baku, Azerbaijan; Belem, Brasil akan menjadi tuan rumah COP30. COP30 akan berlangsung pada 10 hingga 21 November 2025. Belem—yang dijuluki The Heart of Amazon ini— dipilih sebagai lokasi berlangsungnya konferensi iklim tersebut.
Belem berlokasi cukup jauh dari Rio de Janeiro. Jaraknya sekitar 3.177 KM dari Rio de Janeiro dengan waktu tempuh sekira 3,5 jam menggunakan pesawat terbang. Diperkirakan 60.000 delegasi akan hadir dalam gelaran tersebut.
Gegap gempita persiapan Brasil sebagai tuan rumah telah terasa sejak COP29, tepat setahun sebelumnya. Hal ini jelas terlihat dari Paviliun Brasil yang boleh dibilang paling meriah dan menyita perhatian. Kabarnya, Brazil menyiapkan anggaran hingga 4,7 miliar real Brasil. Belem pun telah ‘bersolek’ jauh sebelum COP30 berlangsung.
Banyak pertanyaan yang kerap muncul terhadap nasib COP yang akan datang di Brasil, apalagi di tengah dinamika saat ini. Pemilihan tempat yang cukup jauh dari Ibu Kota Brasil juga menimbulkan pertanyaan sendiri tentang urgensi konferensi iklim tersebut: apakah semua negara masih memegang komitmen yang sama untuk menyikapi perubahan iklim yang kian mengkhawatirkan? Kita lihat saja…