Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terungkap! Kronologi Kerugian Negara Rp319 Miliar di Kasus APD Covid-19

KPK mengungkap kerugian negara sebesar Rp319 triliun terkait kasus dugaan korupsi APD Covid-19.
Kantor Kementerian Kesehatan di Jakarta Selatan./Istimewa
Kantor Kementerian Kesehatan di Jakarta Selatan./Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap pengadaan alat pelindung diri (APD) Covid-19 pada pandemi 2020 lalu merugikan keuangan negara sebesar Rp319 miliar. Nilai kerugian itu didapatkan dari audit yang dilakukan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 

Hal itu disampaikan oleh Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu pada konferensi pers, Kamis (3/10/2024). Pada kesempatan tersebut, penyidik menahan dua dari total tiga tersangka, yakni mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Budi Sylvana (BS) dan Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo (BS). 

Sementara itu, satu tersangka lain yakni Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik (AT) belum ditahan karena masih berhalangan hadir pada panggilan yang dijadwalkan hari ini.

"Atas pengadaan tersebut, Audit BPKP menyatakan telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp319 miliar [Rp319.691.374.183,06]," ujar Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta. 

Anggaran pengadaan itu bersumber dari Dana Siap Pakai (DSP) milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dalam proses pengadaan, penyidik KPK mengendus dugaan penggelembungan harga atau mark-up.

Asep menduga kerugian negara Rp319 miliar itu seharusnya tidak terjadi apabila APD langsung dipasok dari PT PPM ke Kemenkes, tanpa harus ada pelibatan PT EKI. 

"Jadi secara garis besar bahwa ada penambahan harga, ada mark up harga antara PT PPM dengan Kemenkes, di tengahnya ada PT EKI. Jadi, seharusnya kalau misalkan langsung ke PT PPM itu harganya lebih rendah. Sehingga di situ ada kenaikan harga, peningkatan harga, mark-up lah," ujar Jenderal Polisi bintang satu itu. 

Kronologi Dugaan Korupsi APD Covid-19 

Asep menjelaskan bahwa kasus dugaan korupsi itu bermula ketika pemerintah berupaya untuk memenuhi kebutuhan APD saat awal pandemi Covid-19 sekitar empat tahun lalu. Pengadaan dilakukan dengan turut melibatkan aparat seperti TNI dan Polri. 

Bahkan, APD itu langsung diambil oleh TNI dari Kawasan Berikat berdasarkan instruksi Kepala BNBP yang saat itu memimpin Gugus Tugas Covid-19. Dia tidak lain dari Letjen TNI Doni Monardo, yang kini sudah meninggal dunia. 

APD lalu diambil aparat pada 21 Maret 2020 untuk disebar ke 10 provinsi. Namun, pengambilan dilakukan tanpa kelengkapan dokumentasi, bukti pendukung, serta surat pemesananan.

Menurut Asep, inti permasalahan dalam kasus tersebut adalah perbedaan harga yang cukup lebar. Awalnya, APD untuk Kemenkes hanya dipasok langsung oleh PT PPM. 

Perusahaan milik Ahmad Taufik itu merupakan perusahaan yang ditunjuk sebagai distributor utama oleh para produsen APD. Salah satunya yakni oleh Direktur Utama PT Yoon Shin Jaya Shin Dong Keun. Pada saat itu, Kemenkes membeli 10.000 set APD dari PT PPM dengan harga hanya Rp379.500 per set. 

Namun, setelahnya Shin Dong Keun turut menandatangani kontrak kesepakatan dengan Direktur Utama PT EKI Satrio Wibowo untuk menjadi authorized seller. Kontraknya yakni sebanyak 500.000 set APD dengan harga dinamis atau tergantung nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat pemesanan. 

PT PPM dan PT EKI lalu memutuskan untuk menandatangani kontrak kerja sama distribusi. PT PPM mendapatkan margin keuntungan 18,5%.

Adapun, penawaran harga APD melonjak dari Rp379.500 per set menjadi US$60 atau hampir mendekati Rp1 juta per set. Kemudian, Sestama BNPB saat itu, Harmensyah, selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) DSP BNPB melakukan negosiasi harga dengan Satrio agar harga APD diturunkan menjadi US$50 (sekitar Rp700.000) per set. 

Harga itu pun tetap hampir dua kali lipat yang dibayar oleh Kemenkes ke PT PPM awalnya yakni Rp379.500 per set.

"Jadi ini sangat jauh perbedaan harganya antara yang dibeli oleh Kemenkes kemenkes sebesar Rp370.000 per set, dengan yang diadakan oleh KPA. Itu saudara HM [Harmensyah] dengan saudara SW [Satrio]," jelas Asep.

Di sisi lain, PT PPM juga akan menagih 170.000 set APD gelombang pertama yang telah didistribusikan oleh TNI sebelumnya dengan harga sekitar Rp700.000 per set. 

Tidak hanya itu, Satrio juga diduga menghubungi Kepala BNPB Doni Monardo untuk segera menyelesaikan pembayaran 170.000 set APD yang diambil TNI. Dia juga meminta agar diberikan SPK dari BNPB agar sesuai dengan pengamanan raw material dari Korea Selatan. 

Pada 25 Maret 2020, PT EKI dan perusahaan Shin Dong Keun merealisasikan kontrak mereka dengan pemesanan 500.000 set APD. Pemesanan dilakukan dengan menyerahkan giro Rp113 miliar bertanggal 30 Maret 2020. 

Akan tetapi, pemesanan menggunakan dokumen kepabeanan PT PPM karena PT EKI tidak memiliki izin penyaluran alat kesehatan, gudang serta bukan perusahaan kena pajak (PKP). 

"Itu salah satunya menjadi hal yang kami telusuri soal kepemilikan izin dan lain-lain," kata Asep. 

Tidak ada Kontrak

KPK mencatat, ada dua kali pembayaran dari negara kepada PT PPM. Pertama, Rp10 miliar ketika belum ada kontrak atau surat pesanan. Kedua, Rp109 miliar yang diserahkan oleh Pusat Krisis Kesehatan. 

Setelah itu, pada 28 Maret 2020, Budi Sylvana ditunjuk sebagai PPK dari Kemenkes menggantikan Eri Gunawan menggunakan surat bertanggal backdate sehari. Pada kesempatan yang sama, surat pesanan APD dari Kemenkes diterbitkan untuk sebanyak 5 juta set dengan harga US$48,4 per set.

Surat itu diteken oleh Budi, Taufik dan Satrio. Namun, KPK menyebut surat itu tidak mencantumkan spesifikasi pekerjaan, waktu pelaksanaan, pembayaran, serta hak dan kewajiban para pihak. Tidak hanya itu, surat yang hanya ditujukan kepada PT PPM juga ikut ditandatangani oleh PT EKI. 

Adapun Kemenkes mencatat telah menerima 3.140.200 set APD PT PPM dari total 5.000.000 set yang dipesan sampai dengan 18 Mei 2020. Dari waktu pemesanan sampai dengan saat itu, telah dilakukan negosiasi antara Kemenkes dengan PT PPM untuk menurunkan harga.

Kedua pihak menyepakati negosiasi yakni 503.500 set APD yang dikirim dari periode 27 Apil sampai dengan 7 Mei 2020 dihargai sebesar Rp366.850 per set. Setelahnya, satu set APD akan dihargai Rp294.000. 

Asep menuturkan, hasil audit final yang dilakukan BPKP menunjukkan adanya kerugian negara yang timbul akibat pengadaan APD itu senilai Rp319 miliar. Dia memastikan penyidik bakal menelusuri lebih jauh ke mana saja aliran uang tersebut. 

Pria yang pernah menjabat sebagai Kapolres Cianjur itu menuturkan, aliran dana korupsi tidak harus dinikmati oleh pribadi apabila mengacu pada UU Tipikor. Unsur memperkaya diri itu bisa juga menyasar kepada orang lain maupun korporasi. 

"Yang tadi sudah di-state saa ahli kerugian negara sekitar Rp319 miliar. Ini kan tentu tidak diam di tiga orang [tersangka] ini," pungkasnya.

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper