Bisnis.com,JAKARTA -- Gerbang imigrasi manual di Bandar Udara soekarno-Hatta, Tangerang, Banten terlihat sepi ketika tim Coffea Time with May tiba. Apakah ini pertanda mobilitas penumpang dari dan menuju Indonesia minim peminat?
Tentu saja tidak. Tak jauh dari situ, ada deretan gerbang imigrasi otomatis atau autogate yang justru dilalui oleh banyak penumpang, baik warga negara Indonesia (WNI) maupun warga negara asing (WNA). Sebagian dari mereka memilili e-paspor atau paspor eletronik.
“Ada 50 autogate di bandara ini. Kurang lebih satu orang cuma membutuhkan waktu 20 detik untuk melalui autogate. Untuk WNA, selain sudah memiliki paspor elektronik, juga sepanjang sudah memiliki visa eletronik,” ujar Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Silmy Karim.
Penggunaan gerbang imigrasi elektronik merupakan satu dari sekian banyak transformasi Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi di bawah nakhoda Silmy Karim selama kurang lebih 18 bulan menjabat. Transformasi itu merupakan upayanya untuk menjalankan amanah dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Amanah itu pertama adalah digitalisasi dan gerbang imigrasi elektronik merupakan bagian dari amanah tersebut. Tugas lainnya, yaitu golden passport atau paspor emas, transformasi, serta pelayanan cepat dan bersih.
Mantan Dirut Krakatau Steel itu berupaya mencari referensi dari negara-negara lain seperti Singapura, Australia serta Uni Emirat Arab. Sementara Amerika Serikat serta Uni Eropa juga menjadi referensi dalam hal ketersediaan perangkat dan penindakan hukum yang ketat.
“Saya ambil sarinya, mana yang kira-kira akan lebih memberikan dampak cepat ata,” ucapnya.
Dari berbagai referensi itu, Silmy berkesimpulan bahwa harus ada penggunaan alat atau otomasi untuk mempercepat perlintasan dan menghindari banyaknya antrean.
Selain itu, jika berbicara mengenai digitalisasi maka tentunya pelayanan tersebut menurutnya harus dilakukan secara daring seperti yang dilakukan oleh Uni Emirat Arab, Singapura serta Australia dan praktik tersebut sudah dijalankan oleh negara-negara tersebut selama lebih dari satu dasawarsa.
Dari situlah, pihaknya kemudian membuat sistem daring. Akan tetapi, dia mengaku hal tersebut tidak semudah seperti yang dibayangkan sebelumnya karena ada sebuah lembaga negara terikat pada sejumlah ketentuan birokrasi yang berbeda dengan perusahaan swasta.
Dengan sinergi yang baik antarkementerian, kendala birokrasi itu bsia diatasi. Salah satu contohnya adalah terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.7/PMK.02/2003 yang mengisyaratkan pelayanan keimigrasian termasuk penerimaan pendapatan negara dalam bidang itu dapat dilakukan secara digital.
“Belum lagi soal penyederhanaan karena pelayanan yang cepat, mudah, bersih itu salah satunya dari aturan main. Jangan sampai aturan main tidak mudah sehingga membuat pelayanan tidak cepat,” jelas Silmy.
Dia mencontohkan bentuk penyederhanaan itu adalah proses pembuatan paspor untuk keperluan umrah atau haji, tidak perlu dilengkapi dengan rekomendasi dari Kementerian Agama.
Tidak hanya penyederhanaan, pengawasan keimigrasian pun semakin diperketat. Dia mengatakan layanan tersebut bisa ditemui di Bali sebagai daerah tujuan wisata, di mana terjadi penurunan pelanggaraan keimigrasian akibat pengawasan dari institusi yang ketat. Aspek ini terus diperkuat bukan saja dari sisi personil, operasi dan teknologi yang terus dikembangkan supaya tercapai suatu keadaan yang ideal.
“Jadi dalam 18 bulan ini, sudah hampir 100 aturan yang kami revisi atau adakan. Dari jumlah itu, yang dalam proses finalisasi ada sekitar 10 aturan kemudian yang sudah final atau berlaku, bahkan yang barus aja adalah revisi undang-undang,” urainya.
Ada revisi atau pembuatan aturan baru sebagai bentuk transformasi yang kasat mata seperti auto gate, namun ada yang tidak dapat dilihat secara kasat mata namun manfaatnya dapat dinikmati seperti izin masuk kembali.
Dia mencontohkan warga negara asing lain yang mendapatkan permanent residence di Singapura, ketika masuk ke Indonesia, khususnya di Batam, Bintan dan Karimun, tidak perlu mengajukan visa. Hal ini dikarenakan Indonesia percaya Singapura tidak main-main memberikan izin tinggal tersebut dan kunjungan mereka di Indonesia memberikan manfaat seperti berwisata atau berinvestasi.
“Hal seperti ini memang tidak dirasakan oleh orang Indonesia. Tapi bagi orang luar, ini adalah langkah yang besar dan Indonesia dipandang keren,” pungkasnya.