BAGAIMANA Anda menilai harga tiket pesawat untuk rute domestik? Ini masih menjadi perdebatan publik, terutama setelah pembatasan perjalanan publik tak lagi berlaku seusai era Covid-19. Mahal? Boleh jadi. Murah itu relatif.
Tiket pesawat rute domestik untuk pulang kampung atau mudik pakai visa ternyata bisa lebih murah. Saat musim Lebaran 2024 lalu, ada satu postingan di media sosial yang menceritakan dirinya memilih mudik dari Jakarta ke kampungnya di Sumatra, dan harus transit di negara tetangga.
Tentu saja dia harus pakai visa. Ternyata, ada selisih harga hingga ratusan ribu rupiah, dibandingkan dengan dia harus membeli tiket flight langsung.
Saya coba sendiri membandingkan tiket domestik dan luar negeri. Di salah satu aplikasi transportasi, harga tiket Garuda untuk rute Jakarta internasional (CGK)- Hong Kong (HKG) paling murah Rp2,46 juta dan termahal Rp3,64 juta per pax. Harga itu untuk satu flight direct one way dengan waktu terbang 4 jam 55 menit.
Sementara itu, tiket Garuda untuk rute domestik CGK- Ternate (TTE) direct flight dengan waktu terbang 3 jam 45 menit, dikenakan ongkos Rp2,89 juta. Lebih mahal ke Ternate sepertinya.
Namun, apakah memang selalu tiket ke luar negeri lebih murah dibandingkan dengan rute domestik? Mari kita lihat dari sisi penumpang, airlines, bandara hingga kebijakan dan regulasi pemerintah.
Baca Juga
Ada hal yang menarik dari riset yang dilakukan oleh Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (APJAPI) kepada 7.400 responden sepanjang akhir tahun 2023 hingga awal 2024.
Seluruh responden riset tersebut merupakan penumpang angkutan udara yang tersebar di sejumlah bandara di Indonesia. Responden merupakan para penumpang yang telah memegang boarding pass. Artinya mereka benar-benar masyarakat yang akan terbang, bukan masyarakat umum.
Hasil riset tersebut memperlihatkan sedikitnya 77% penumpang pesawat menganggap bahwa harga tiket di Tanah Air masih wajar. Sisanya 23% pengguna angkutan udara menyatakan tarif di dalam negeri mahal dan sangat mahal.
Dikutip dari situs Indonesia National Air Carriers Association, sebanyak 91% penumpang pesawat dari hasi riset tersebut tidak mengetahui ada komponen harga tiket selain tarif.
Padahal di dalam komponen harga tiket tersebut terdapat biaya-biaya lain seperti PJP2U (Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara) atau passenger service charge (PSC) yang nilainya berbeda di tiap bandara. Belum lagi pajak dan iuran wajib penerbangan untuk pemerintah. Saat harga avtur tinggi, juga akan ada tambahan fuel surcharge pada tiket penerbangan.
Biaya tambahan tersebut yang membuat harga tiket pesawat bisa menjadi mahal. Dalam kondisi yang demikian, masyarakat selalu menyatakan hal tersebut adalah tanggung jawab maskapai penerbangan.
Bagi airlines atau maskapai penerbangan, harga tiket pesawat juga berkaitan erat dengan biaya operasional.
Ada tiga unsur utama yang mencakup 66% dari total biaya operasional maskapai. Ketiga unsur itu adalah bahan bakar atau avtur dengan porsi terbesar sebanyak 36%, biaya pemeliharaan (maintenance) mencakup sekitar 16%, dan biaya sewa pesawat atau penyusutannya sebesar 14%.
Tentu saja ketiga unsur tersebut juga sangat erat terhubung dengan perkembangan nilai tukar mata uang karena pembayaran untuk bahan bakar avtur dan suku cadang pesawat menggunakan valuta asing. Ketika rupiah melemah, ini menjadi beban yang serius bagi maskapai penerbangan.
Masalah Harga Avtur
Soal bahan bakar ini juga menarik. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) misalnya, menilai ada masalah dalam penjualan dan pendistribusian bahan bakar avtur, sehingga harga avtur mahal dan berimbas pada harga tiket pesawat.
Pada Februari 2024 lalu, KPPU melansir data bahwa harga avtur penerbangan di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan di 10 bandara udara luar negeri.
Kisaran perbedaaan harga avtur bandara di Indonesia dengan bandara luar negeri secara umum mencapai 22% hingga 43% untuk periode Desember 2023. Sebab itu, harga avtur dinilai berpengaruh langsung kepada harga tiket pesawat terbang.
Menurut kajian KPPU, harga tiket pesawat per kilometer di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara Asean lain, seperti Thailand, Malaysia dan Vietnam.
Kajian KPPU juga menyebutkan bahwa pasar penyediaan avtur di Indonesia memiliki struktur monopoli dan terintegrasi secara vertikal. Akibatnya, terjadi ketidakefisienan pasar dan berkontribusi pada tingginya harga avtur.
Sejalan dengan itu, komisi tersebut merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan perbaikan tata kelola penyediaan dan pendistribusian bahan bakar penerbangan atau avtur.
Namun, penjualan avtur oleh oleh PT Pertamina (Persero) melalui Pertamina Aviation tidak bisa dinilai menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat karena didukung oleh regulasi pemerintah yang memberikan proteksi kepada industri migas dalam negeri.
Peraturan BPH Migas No.13/2008 memang membuka pintu yang luas kepada badan usaha lain untuk melakukan kegiatan usaha penjualan avtur.
Keterlibatan swasta dalam bisnis penyediaan avtur di Indonesia sempat dijalankan oleh Shell Aviation pada Oktober 2007 - September 2009. Shell sempat menyediakan avtur di Bandara Soekarno-Hatta dan Bandara Juanda, Surabaya.
Sebagai perbandingan, pada periode Agustus 2023, Pertamina menjual avtur terendah US$0,87 per liter di Bandara Soekarno-Hatta, dan tertinggi US$1,006 per liter di Bandara Karel Sadsuitubun.
Sementara itu, Shell menjual avtur di Bandara Changi seharga US$1,45 per liter, di Bandara Kuala Lumpur seharga US$1,48 per liter, di Bandara Suvarnabhumi Thailand seharga US$1,48 per liter, Bandara Hong Kong seharga US$1,45 per liter, dan di Bandara Narita Jepang seharga US$1,03 per liter.
Meski begitu, Shell Aviation kemudian hengkang dari bisnis distribusi avtur di Indonesia.
Suku Cadang Pesawat
Selain avtur, maskapai juga harus berhitung dari risiko biaya komponen pesawat. Ketersediaan suku cadang (spare part) kini menipis dan mulai langka seiring dengan tren pemulihan bisnis penerbangan secara global.
Maskapai di seluruh dunia mulai mengaktifkan kembali pesawat-pesawat yang sebelumnya tidak beroperasi selama pandemi. Hal ini memicu terjadinya lonjakan permintaan terhadap suku cadang untuk pesawat.
Sumber daya terbatas berimbas pada antrean perbaikan pesawat pada fasilitas-fasilitas Maintenance, Repair, and Overhaul (MRO). Jumlah fasilitas MRO yang terbatas membuat maskapai harus menunggu giliran untuk memperbaiki atau melakukan perawatan pada armadanya.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, Indonesia memiliki 31 perusahaan bengkel pesawat.
Sebenarnya pemerintah telah coba mengatasi hal ini dengan merelaksasi larangan dan pembatasan (lartas) suku cadang untuk industri bengkel pesawat atau MRO, dan operator penerbangan demi menurunkan tarif tiket pesawat.
Kebijakan relaksasi tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Aturan ini berlaku sejak 10 Maret 2024.
Saat ini operator penerbangan sipil di Indonesia memiliki armada sejumlah 557 pesawat. Dari jumlah tersebut, sekitar 200 pesawat memerlukan perbaikan, sedangkan pemenuhan suku cadang pemeliharaan pesawat saat ini masih didominasi impor hingga 93%.
Permendag Nomor 3 Tahun 2024 itu melonggarkan aturan larangan impor dari sebelumnya sekitar 49% suku cadang pesawat menjadi 17% terhadap 10.829 item onderdil berkode Harmonized System (HS) terdaftar di Kementerian Perindustrian.
Relaksasi aturan bisnis penerbangan memang sedikit meredam kenaikan harga tiket. Namun, secara umum, harus diakui tiket penerbangan domestik masih relatif mahal.
Ini jelas pekerjaan rumah pemerintah yang tidak bisa begitu saja dibiarkan. Apalagi jika pemerintah ingin menarik manfaat dari kunjungan wisatawan mancanegara maupun turis lokal nusantara.
Tiket yang mahal bisa saja mengancam gerakan Bangga Berwisata di Indonesia (BBWI), program pemerintah yang diluncurkan pada 13 Desember 2022 dan dikomandoi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Mengutip data BPS, kunjungan wisman pada 2023 meningkat 98% dibandingkan dengan tahun sebelumnya menjadi 11,68 juta. Namun, pada 2019, kunjungan wisman ke Indonesia tercatat mencapai 16,11 juta loh.
Khusus melalui akses udara, kunjungan wisman pada tahun lalu meningkat 142% dibandingkan dengan tahun sebelumnya menjadi 1,97 juta. Capaian ini masih jauh di bawah performa 2019 yang menembus 9,83 juta.
Adapun perjalanan wisatawan nasional pada 2022 mencapai 734,86 juta perjalanan, yang kemudian cuma naik 2% menjadi 749,11 juta perjalanan. Lagi-lagi capaian ini masih jauh dari target.
Tahun 2024 ini, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno mematok target 1,2 miliar-1,5 miliar pergerakan wisatawan.
Salah satu caranya adalah menekan harga tiket pesawat. Jadi, jika tiket domestik masih mahal, jangan kaget jika masyarakat lebih memilih ke Hong Kong atau tempat wisata negara lain yang harganya terjangkau.