Bisnis.com, JAKARTA — Reaksi pro dan kontra mengemuka terhadap isu penambahan jumlah kementerian dari 34 menjadi 40 pada pemerintahan presiden terpilih 2024–2029, Prabowo Subianto.
Sebagian pihak yang pro dengan wacana tersebut antara lain menilai kabinet yang ‘gemuk’ cocok untuk diterapkan guna mengakomodasi program pemerintah. Perubahan regulasi untuk mendukung wacana itu pun dinilai menjadi wewenang pemerintahan terpilih.
Sebaliknya, pihak kontra menilai rencana tersebut tidak urgen dan hanya jadi dalih untuk mengakomodasi kepentingan politik yang transaksional.
Apalagi, jumlah kementerian telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 39/2008 tentang Kementerian Negara. "Jumlah keseluruhan Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling banyak 34," bunyi pasal tersebut.
Bagian penjelasan UU No. 39/2008 ini menyebut bahwa undang-undang ini juga bermaksud untuk melakukan reformasi birokrasi dengan membatasi jumlah kementerian paling banyak 34.
"Artinya, jumlah kementerian tidak dimungkinkan melebihi jumlah tersebut dan diharapkan akan terjadi pengurangan," demikian bunyi penjelasan UU itu.
Baca Juga
Seperti diketahui, wacana yang menyebutkan kabinet presiden terpilih Prabowo Subianto akan memiliki 40 kementerian belakangan menyeruak ke ruang publik. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman tidak menampik maupun mengonfirmasikan kabar tersebut.
Habiburokhman bahkan mengungkit sejumlah problem dalam pembentukan kementerian di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena dirasa terlalu sedikit. Dia menjelaskan, di DPR sering muncul kritik bahwa banyak kementerian di kabinet Jokowi yang seakan dipaksakan untuk bergabung menjadi satu.
"Saya lima tahun di DPR, banyak juga masukan soal kementerian-kementerian yang seolah-olah dipaksa untuk match [disatukan]," ujar Habiburokhman di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (6/5/2024).
REAKSI PRO
menjadi salah satu pihak yang mendukung wacana itu. Alasannya, keputusan perubahan nomenklatur kementerian merupakan hak khusus bagi presiden terpilih.
"Itu hak prerogatif Pak Presiden, kami pokoknya yang terbaik untuk bangsa, negara, buat negara kami dukung," katanya usai meresmikan Indonesia Digital Test House (IDTH) bersama dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Balai Besar Pengujian Perangkat Telekomunikasi, Depok, Jawa Barat, Selasa (7/5/2024).
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) itu juga mengatakan, penambahan kementerian diperlukan karena sejumlah lembaga yang ada saat ini dianggap belum mengakomodasikan kebijakan prioritas Prabowo-Gibran.
Misalnya, dia menjelaskan bahwa salah satu program seperti makan siang dan susu gratis perlu diurus oleh lembaga yang kredibel untuk mengurus soal gizi masyarakat. sehingga, kata Budi, setiap presiden tentunya memiliki skala keperluan prioritas yang berbeda.
"Selalu setiap perkembangan zaman ada keperluan-keperluan baru yang memerlukan adanya penambahan. Nanti secara resmi akan diumumkan oleh Pak Prabowo," kata Budi Arie.
Terpisah, pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Survei dan Polling Indonesia Igor Dirgantara menilai wacana itu cocok diterapkan karena Indonesia merupakan negara yang besar.
Menurut Igor, penambahan nomenklatur kementerian itu bisa meningkatkan kinerja pada sektor-sektor tertentu dari pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto yang selama ini belum tersentuh oleh pemerintahan sebelumnya.
"Indonesia kan negara yang besar, luas, penduduknya banyak pula, wajar jika kementeriannya ditambah sampai dengan 40 kementerian, yang penting itu disetujui," kata Igor seperti dilansir Antara, Rabu (8/5/2024).
Dia tak menampik bahwa penambahan jumlah kementerian itu memunculkan istilah kabinet gemuk. Namun, kata gemuk diartikan negatif jika hanya merujuk kepada seseorang.
Akan tetapi, untuk sebuah negara, menurut Igor, kabinet gemuk harus dilihat dengan cara pandang yang berbeda karena walaupun Prabowo mengusung keberlanjutan, perbaikan pun tetap diperlukan.
"Nah salah satu perbaikan itu menambah nomenklatur kementerian," kata dia.
Sementara itu, dosen ilmu politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menilai wacana itu mengharuskan pemerintah mengubah regulasi.
"Harus diubah regulasinya, suka-suka pemenang saja bagaimana postur kabinet ke depan," kata Adi seperti dikutip Antara.
Menurutnya, kondisi itu memang berbanding terbalik dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang justru merampingkan kementerian demi efisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Meski begitu, dia menilai Jokowi dan Prabowo memiliki penekanan masing-masing terkait dengan kementerian.
"Kalau untuk kemajuan bangsa, anggaran harus digelontorkan, kecuali untuk kepentingan tak berfaedah, beda lagi ceritanya," ujarnya.