Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), sekaligus calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3, Mahfud MD terlibat adu kritik dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terkait dengan proses penetapan tersangka kasus dugaan korupsi.
Saling balas kritik itu awalnya bermula dari pernyataan yang disampaikan Mahfud saat menghadiri Dialog Kebangsaan dengan Mahasiswa Indonesia se-Malaysia di Kuala Lumpur, Jumat (8/12/2023). Awalnya, dia berjanji untuk memperkuat KPK ke depannya apabila pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Mahfud lalu menyinggung adanya sejumlah kesalahan yang dilakukan oleh komisi antirasuah, namun dikaburkan oleh prestasi KPK yang dipandang bagus. Dia menyebut kesalahan-kesalahan itu menyebabkan orang menjadi korban, seperti saat praktik operasi tangkap tangan (OTT).
"Kesalahan-kesalahan yang menyebabkan orang menjadi korban, karena telanjur orang menjadi target, telanjur OTT padahal bukti nggak cukup, dipaksakan juga ke penjara bisa terjadi. Makanya UU KPK-nya direvisi," ujarnya di Malaysia, dikutip dari siaran pers, Minggu (10/12/2023).
Pernyataan Mahfud itu pun langsung mendapatkan tanggapan oleh dua pimpinan KPK. Ketua sementara KPK Nawawi Pomolango memastikan bahwa kerja-kerja OTT KPK selalu dilakukan oleh tim dengan penuh kecermatan, kehati-hatian dan kecukupan alat bukti.
Nawawi menilai pernyataan tersebut akan lebih bijak jika disertai dengan contoh terkait dengan OTT KPK yang dinilai kurang atau tidak memiliki bukti.
Baca Juga
Pimpinan KPK berlatar belakang hakim itu lalu menyinggung bahwa upaya saling menguatkan lebih baik dilakukan dibandingkan dengan sebaliknya. Hal tersebut, terang Nawawi, lebih penting terlebih di dalam musim KPK yang tengah dilanda kontroversi kasus dugaan pemerasan Ketua nonaktif KPK Firli Bahuri.
"Dalam musim KPK yang kurang baik-baik seperti ini, mungkin lebih arif jika ada upaya saling menguatkan bukan sebaliknya. Mengingat beliau sampai saat sekarang ini masih menjadi bagian dari pemerintahan," tuturnya kepada wartawan, dikutip Minggu (10/12/2023).
Kritik balik terhadap pernyataan Mahfud soal OTT KPK ditambah oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Pimpinan KPK berlatar belakang akademisi itu mengatakan bahwa pernyataan Menko Polhukam tidak berbasis data bahkan cenderung mustahil.
Menurutnya, hal tersebut lantaran nihilnya perkara KPK yang berawal dari OTT dan tidak terbukti pada proses pengadilan. Ghufron lalu merujuk pada pasal 1 angka 19 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengenai tangkap tangan yang berbunyi:
"Tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa Ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu".
Oleh sebab itu, Ghufron menilai mustahil terjadi upaya tangkap tangan pada dugaan tindak pidana korupsi apabila nihil dua alat bukti, yakni saksi dan barang bukti uang.
"Jadi tak mungkin tangkap tangan kurang bukti, dan bukan tangkap tangan jika buktinya kurang," ujarnya kepada wartawan, dikutip Minggu (10/12/2023).
Usai dikritik balik oleh pimpinan KPK, Mahfud lalu meluruskan pernyataannya itu. Dia mengatakan bahwa yang benar adalah menetapkan tersangka tanpa bukti yang cukup. Hal itu disampaikan olehnya usai menghadiri acara Hari Anti Korupsi sedunia bersama relawan Ganjar-Mahfud, di Bandung, Sabtu (9/12/2023).
"Saya ralat dan perbaiki, bukan OTT tapi menetapkan orang sebagai tersangka, buktinya belum cukup sampai bertahun-tahun itu masih tersangka terus," ujarnya dikutip dari siaran pers.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu pun lalu blak-blakan bahwa adanya kejadian tersebut mendorong adanya revisi Undang-undang (UU) KPK. Khususnya terkait dengan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan atau SP3.
Mahfud menuturkan, sampai saat ini masih banyak yang ditetapkan sebagai tersangka, tapi belum juga disidangkan karena buktinya belum cukup. Menurut Mahfud, hal itu bisa merugikan orang. Dia mengakui bahwa pernyataannya keliru soal OTT KPK yang tidak memiliku kecukupan alat bukti.
"Kalau OTT mungkin kemarin saya keliru menyebut OTT dengan tersangka, TSK dan OTT. Kalau OTT selama ini, KPK sudah cukup bisa membuktikan. Makanya itu diperbaiki besok agar orang tidak tersandera seumur hidup jadi tersangka tapi tidak pernah dibawa ke pengadilan," ujarnya.
Berdasarkan catatan Bisnis, pernyataan Mahfud mengenai adanya sejumlah tersangka KPK yang belum dibawa ke pengadilan memang benar adanya. KPK mengakui bahwa ada beberapa faktor yang melatarbelakangi hal tersebut.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut pihaknya akan melakukan evaluasi dalam beberapa waktu ke depan terhadap perkara-perkara yang ditangani. Dia mengungkap kemungkinan untuk menerbitkan SP3 pada perkara atau tersangka dimaksud.
"Mungkin nanti berjalan beberapa bulan ke depan kita akan evaluasi karena ada perkara-perkara yang sudah bertahun-tahun menjadi tersangka tetapi sampai dengan sekarang kita belum bisa naik ke penuntutan, persidangan. Ada beberapa tersangka juga diidentifikasi sakit permanen sehingga tidak layak diperiksa apalagi menghadapi persidangan. Kalau seperti itu buat apa kita teruskan," ujarnya di Gedung Merah Putih KPK, Senin (4/12/2023).
Namun demikian, pimpinan KPK dua periode itu menyebut lembaganya bakal berhati-hati dalam menerbitkan SP3. Dia menyebut nantinya akan melibatkan berbagai pihak luar seperti akademisi maupun praktisi untuk menentukan perkara mana yang layak untuk dihentikan penyidikannya.