Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan uji materil Pasal 15 ayat (2) huruf d Undang-undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) terkait syarat usia minimal hakim konstitusi.
Dalam perkara bernomor 81/PUU-XXI/2023 itu, pemohon atas nama Fahri Bachmid selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar meminta agar syarat usia minimal hakim konstitusi ditetapkan pada angka minimal 55 tahun.
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo saat membaca amar putusan di Gedung I MK, Jakarta Pusat pada Rabu (29/11/2023).
Dalam pertimbangannya, MK menyebut bahwa perubahan yang berkenaan dengan persyaratan usia dalam UU MK tersebut tidak boleh merugikan hakim konstitusi yang sedang menjabat.
Artinya, apabila pembentuk undang-undang berkehendak untuk mengubah persyaratan selain persyaratan yang diatur dalam UUD 1945 termasuk perubahan masa jabatan (periodisasi), maka perubahan tersebut haruslah diberlakukan bagi hakim konstitusi yang diangkat setelah UU tersebut diubah.
“Terlebih, apa yang dikhawatirkan pemohon belum merupakan fakta hukum. Selain itu, apabila diletakkan pada kemandirian kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat 1 UUD 1945, perubahan yang sering kali dilakukan, termasuk dengan mengubah syarat usia dan masa jabatan, jelas hal tersebut akan mengancam kemerdekaan kekuasaan kehakiman dimaksud,” demikian pertimbangan yang dibacakan.
Baca Juga
Sebelumnya, sidang perdana terkait perkara ini digelar pada Agustus lalu, tepatnya pada Kamis (24/8/2023) dan dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Dalam pokok permohonannya, Fahri berpendapat bahwa perubahan syarat minimal usia untuk menjadi hakim konstitusi yang sudah terjadi dua kali selalu dilakukan tanpa alasan jelas dan tidak mendasar secara akademik.
Itu sebabnya, Fahri dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 15 ayat (2) huruf d UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap frasa "berusia paling rendah 55 tahun," apabila dimaknai "selain dari yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo".