Bisnis.com, JAKARTA – Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko memastikan bahwa proses sidang dugaan pelanggaran etik hakim MK terkait putusan batas usia capres-cawapres yang dilakukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) murni sebagai masalah hukum.
Mantan Panglima TNI itu pun menegaskan bahwa sebenarnya masih banyak masalah lain yang harusnya mendapat perhatian masyarakat.
"Ya saya pikir ini persoalan hukum murni ya. Kita menginginkan situasi yang baik lah," ujarnya saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (6/11/2023).
Oleh sebab itu, Moeldoko pun mengimbau masyarakat tetap tenang menanggapi putusan MKMK tersebut. Apalagi, memasuki tahun politik saat ini, kata dia, masyarakat harus menjaga suhu dan iklim demokrasi agar tidak mengalahkan perhatian publik terhadap isu-isu mendesak lainnya.
Dia mengaku banyak hal penting lain yang harus mendapatkan atensi publik, mulai dari masalah ketahanan pangan, energi dan kondisi ekonomi global.
"Mari kita jaga sama-sama kondisi ini. Kita menjaga situasi politik ini jangan mengalahkan yang lain-lain. Banyak kok urusan negara yang lain gitu. Itu tuh lebih penting daripada sekedar urusan politik. Pada akhirnya [jika terlalu memikirkan politik] imbuhnya malah bikin instability. Pada akhirnya so what," pungkas Moeldoko.
Baca Juga
Menurut catatan Bisnis, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) akan berunding untuk membahas putusan pelanggaran etik hakim MK terkait putusan batas usia capres-cawapres pada hari ini, Senin (6/11/2023).
“Mulai Senin berunding. Senin, draf putusan sudah ada, cuma [isi putusan] belum yang rincinya,” kata Ketua MKMK Jimly Ashiddiqqie usai rangkaian sidang etik, dikutip Senin (6/11/2023).
Meskipun MKMK akan membahas banyak substansi dari berbagai laporan, dia menjamin bahwa prosesnya akan cukup dilakukan dalam sehari.
“Pasti alot, tetapi [kami] cuma bertiga. Kalau sembilan kan begitu berkumpul banyak pendapatnya. Kalau cuma bertiga gini bisa lah. Apalagi udah tua-tua,” katanya, merujuk pada dua anggota MKMK lainnya yakni Bintan R. Saragih dan Wahiduddin Adams.