Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Potret 9 Tahun RI Dipimpin Jokowi: Ekonomi Stagnan dan Efek Domino Deindustrialisasi

Isu pertumbuhan ekonomi, deindustrialisasi, dan kenaikan pekerja informal menjadi tantangan ke depan.
Presiden Joko Widodo menghadiri Forum Bisnis Indonesia-Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang digelar di China World Hotel, Beijing, RRT, pada Senin, 16 Oktober 2023. Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr.
Presiden Joko Widodo menghadiri Forum Bisnis Indonesia-Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang digelar di China World Hotel, Beijing, RRT, pada Senin, 16 Oktober 2023. Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr.

Bisnis.com, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) genap memimpin Indonesia selama 9 tahun pada 20 Oktober 2023. Namun demikian, sejumlah pekerjaan rumah belum berhasil diselesaikan dengan tuntas.

Isu tentang stagnasi ekonomi, deindustrialisasi dan meningkatnya pekerja informal belum sepenuhnya tertangani. Tiga isu ini akan menjadi tantangan berat bagi siapapun penerusnya kelak.

Soal pertumbuhan ekonomi, misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kinerja perekonomian Indonesia selama tahun 2022 mencapai 5,31 persen. Capaian ini digadang-gadang menjadi yang paling tinggi sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) memegang tampuk kekuasaan sejak 2014 lalu.

Dalam catatan Bisnis, kinerja ekonomi year on year selama presiden Jokowi memimpin belum pernah menyentuh angka 6 persen atau 7 persen. Pertumbuhan ekonomi RI hanya berkutat di angka 5 persen-an. Tahun ini pun demikian, target pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya 5.3 persen. 

Angka lima persen tentu sangat jauh dari ekspektasi. Pertumbuhan di kisaran 5 persen juga membuktikan adanya stagnasi pertumbuhan ekonomi pasca booming komoditas pada tahun 2010-an lalu.

Selain itu, jika mengacu kepada data resmi BPS, ada persoalan struktural yang sampai dengan saat ini belum ditangani.

Capaian pertumbuhan ekonomi 2022 membuktikan bahwa gembar-gembor tentang hilirisasi dan tetek bengek-nya ternyata belum mampu mengubah struktur ekonomi Indonesia. Setidaknya sampai detik ini.

Data BPS mengungkap bahwa ekonomi selama tahun 2022 lebih banyak digerakkan oleh sektor komoditas. Kontribusi sektor pertambangan dan penggalian ke dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai angka 12,22 persen.

Padahal pada tahun-tahun sebelumnya, sektor pertambangan dan penggalian hanya sebesar 8,97 persen pada tahun 2021 dan 6,43 persen pada 2020. Peningkatan kontribusi sektor ini merupakan imbas kenaikan harga komoditas yang terjadi selama tahun 2022. 

Meningkatnya kontribusi sektor pertambangan dan penggalian tersebut juga semakin mengonfirmasi bahwa perekonomian selama tahun 2022 dikatrol oleh sektor komoditas. Sektor lain juga memiliki kontribusi cukup tinggi, sektor industri pengolahan adalah salah satunya.

Namun jika melihat data realisasi PDB 2022, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB justru semakin meredup. Pada tahun 2018, misalnya, sektor ini mampu berkontribusi ke PDB sebanyak 19,86 persen, 2019 turun ke angka 19,71 persen, tahun 2020 naik menjadi 19,87 persen, tahun 2021 turun lagi ke angka 19,24 persen.

Sedangkan tahun 2022, hanya tersisa sebanyak 18,34 persen. Itu artinya kinerja manufaktur tahun 2022 terendah selama 5 tahun belakangan. Sekadar catatan pada tahun 2000-an, kontribusi industri pengolahan atau manufaktur ke PDB mencapai 20 persen.

Indonesia secara teori telah memasuki fase deindustrialisasi. Deindustrialisasi di kalangan ekonomi sering dimaknai sebagai menurunnya kontribusi sektor industri pengolahan non migas terhadap PDB.

Bagaimana Nasib Sektor Permintaan?

Secara umum daya beli masyarakat atau konsumsi rumah tangga pada tahun 2022 relatif lebih baik dibandingkan dengan tahun 2020 atau 2021 atau ketika pandemi Covid-19 sedang ganas-ganasnya. Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada tahun 2022 4,93 persen atau hampir 5 persen. 

Sekadar catatan pada tahun 2020, atau awal pandemi, daya beli masyarakat mencapai titik terendahnya. Pada tahun itu minus 2,63 persen. Daya beli masyarakat kembali membaik pada tahun 2021 dengan laju pertumbuhan di angka 2,02 persen. 

Namun demikian, jika melihat data 3 tahun belakangan ini, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB juga tergerus. Pada tahun 2022, kontribusi konsumsi rumah tangga ke PDB mencapai 51,87 persen. Angka ini turun dibandingkan dengan tahun 2021 yang mencapai 54,4 persen dan pada tahun 2020 57,63 persen.

Di sisi lain, investasi juga mengalami penurunan kontribusi terhadap PDB. Pada tahun 2022, kontribusi investasi terhadap produk domestik bruto hanya 29 persen. Padahal pada tahun sebelumnya, investasi mampu berkontribusi sebanyak 30,7 persen. 

Satu-satunya sektor yang mengalami kenaikan kontribusi secara signifikan adalah ekspor barang dan jasa. Kontribusi ekspor barang dan jasa mencapai 24,49 persen. Laju pertumbuhannya pun mencapai 16,28 persen.

Namun demikian, jika mengacu kepada data struktur ekspor tahun 2022, sektor komoditas lagi-lagi menjadi penggerak utama ekspor Indonesia pada tahun tersebut.

Laju pertumbuhan ekspor industri pengolahan hanya sebesar 16,45 persen. Angka ini jauh di bawah pertumbuhan sektor pertambangan yang mengalami kenaikan ekspor sebesar 71,22 persen.

Selain itu, kontribusi eksportasi industri pengolahan atau manufaktur anjlok menjadi 70,67 persen. Tahun 2021 industri pengolahan mampu berkontribusi ke total ekspor 76,51 persen. Sedangkan kontribusi sektor pertambangan naik dari 16,37 persen (2021) menjadi 22,23 persen pada tahun 2022.

Infomalitas Meningkat

Persoalan struktural di atas menunjukkan bahwa kualitas pertumbuhan belum mampu terdistribusi secara merata ke semua kalangan. Informalitas masih tinggi. Data BPS lagi-lagi mengungkap bahwa jumlah pekerja informal di Indonesia terus mengalami kenaikan.

Pada Februari 2020 lalu, misalnya, jumlah pekerja formal tercatat sebesar 43,36 persen dan sektor informal sebanyak 56,64 persen. Jumlah pekerja informal naik menjadi 59,62 persen, sedangkan pekerja formal tersisa 40,38 persen pada Februari 2021.

Persentase jumlah pekerja formal terus tergerus pada tahun-tahun setelahnya, pada Februari 2022 BPS mencatat jumlah pekerja formal tersisa menjadi 40,03 persen. Sementara jumlah pekerja informal melejit hingga 59,97 persen.

Tren ini terus berlanjut, kendati pemerintah mengklaim bahwa kondisi perekonomian mulai menunjukan pemulihan dan perlahan lepas dari imbas pandemi Covid-19.

Namun demikian, jika mengacu kepada data BPS per Februari 2023, jumlah pekerja informal malah menembus angka 60,12 persen atau mengalami kenaikan 0,15 persen. Pekerja formal tercatat anjlok menjadi 39,88 persen.

Data mengenai tren peningkatan pekerja informal itu sejalan dengan tren penurunan penduduk yang berstatus sebagai buruh, karyawan dan pegawai.

Berdasarkan data BPS jumlah buruh dalam waktu 3 tahun terakhir mengalami penurunan dari 37,02 persen pada Februari 2021 menjadi 36,72 persen pada Februari 2022, dan turun ke angka 36,34 pada Februari 2023.

Sebaliknya persentase penduduk yang berusaha sendiri terus naik setiap tahunnya. Pada Februari 2021, jumlah orang yang bekerja sendiri sebanyak 19,57 persen. Angka ini naik menjadi 19,84 pada Februari 2022. Pada periode Februari 2023 jumlah orang yang berusaha sendiri menembus angka 20,67 persen. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper