Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menelepon sekutu-sekutu utamanya pada Selasa (3/10/2023) untuk meyakinkan mereka perihal kelanjutan dukungan terhadap Ukraina saat kekacauan politik terjadi di Washington membuat bantuan militer baru dalam posisi yang tidak aman.
Biden berbicara dengan para pemimpin Barat untuk menenangkan kegelisahan setelah bantuan baru untuk Ukraina dicabut dari kesepakatan di Kongres AS demi menghindari penutupan pemerintah pada Sabtu (30/4/2023), di tengah penolakan dari Partai Republik garis keras.
Harapan Biden untuk segera meloloskan rancangan undang-undang bantuan baru untuk Ukraina menjadi berantakan tak lama setelah seruan tersebut disampaikan pada Selasa (3/10/2023), ketika kelompok garis keras memecat Ketua DPR dari Partai Republik Kevin McCarthy.
Dengan gejolak yang mengancam terhambatnya pekerjaan legislatif, Biden mendesak pemilihan ketua baru secepatnya untuk menghadapi “tantangan mendesak yang dihadapi bangsa kita”, kata pihak Gedung Putih dilansir dari CNA pada Rabu (4/10/2023).
Biden sebelumnya telah menelepon para pemimpin sekutu utama Inggris, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Polandia, Rumania, para pemimpin Uni Eropa dan NATO, serta menteri luar negeri Prancis.
“Presiden Biden menegaskan kembali komitmen Amerika Serikat untuk mendukung Ukraina selama diperlukan untuk mempertahankan kedaulatan dan integritas teritorialnya, dan para pemimpin juga menyuarakan komitmen mereka,” kata Gedung Putih.
Baca Juga
Namun Gedung Putih sendiri telah memperjelas urgensi situasi ini. Juru bicara Dewan Keamanan Nasional John Kirby memperingatkan bahwa jika bantuan baru tidak disetujui, dana yang ada untuk membantu Ukraina melawan invasi Rusia hanya akan bertahan beberapa bulan.
“Waktu bukanlah teman kita,” kata Kirby kepada wartawan. Hilangnya pendanaan tidak hanya akan merugikan Ukraina di medan perang tetapi juga "membuat Putin percaya bahwa dia bisa menunggu kita keluar".
Pentagon mengatakan pihaknya dapat terus memenuhi kebutuhan militer Ukraina "sedikit lebih lama" dengan bantuan yang telah disetujui.
Sekutu segera menindaklanjuti seruan tersebut untuk menunjukkan persatuan dengan Biden, yang negaranya sejauh ini merupakan pemasok bantuan terbesar ke Ukraina.
Washington telah memberikan bantuan militer lebih dari US$43 miliar atau sekitar Rp671 triliun ke Kyiv sejak Moskow melancarkan invasi skala penuh pada Februari 2022. Kongres telah menyetujui total bantuan sebesar US$113 miliar, termasuk bantuan kemanusiaan.
Kantor Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni mengatakan Biden ingin meyakinkan sekutunya tentang berlanjutnya dukungan AS untuk Ukraina setelah drama penutupan pemerintahan.
Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak berterima kasih kepada Biden atas “kepemimpinannya”, dan menambahkan bahwa dukungan Barat akan terus berlanjut “selama diperlukan.”
Pemimpin NATO Jens Stoltenberg “menekankan pentingnya dukungan berkelanjutan kepada Ukraina” dan menambahkan bahwa anggota aliansi “berbagi beban secara adil”.
Rusia telah mengambil tindakan atas kekacauan yang terjadi di Washington, dan Kremlin pada Senin (2/10/2023) mengatakan bahwa negara-negara Barat yang kelelahan akibat perang akan bertambah karena ketidakpastian atas bantuan AS untuk Ukraina.
Biden mengatakan peran global AS sedang dipertaruhkan. Bantuan untuk Ukraina kini tampaknya akan tersandera oleh politik AS yang tinggal menyisakan satu tahun lagi menuju pemilu, karena Partai Republik sayap kanan yang menggulingkan Ketua DPR McCarthy telah menempatkan penghentian bantuan ke Ukraina sebagai agenda utama mereka.
Kekacauan ini terjadi setelah Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengunjungi Washington pada bulan September untuk memohon dukungan yang berkelanjutan.
Oposisi di kalangan Partai Republik garis keras telah menyebar lebih dari satu setengah tahun setelah invasi Rusia, termasuk ke beberapa pemilih.
Jajak pendapat ABC/Washington Post yang dirilis pada 24 September menunjukkan 41 persen responden mengatakan Amerika Serikat melakukan terlalu banyak upaya untuk mendukung Ukraina, naik dari 33 persen pada Februari dan hanya 14 persen pada April 2022.
Keraguan terhadap persatuan Barat juga meningkat setelah Slovakia memilih pemimpin populis Robert Fico, yang berjanji untuk mengakhiri dukungan militer untuk Ukraina. (Andy Repi)