Bisnis.com, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali absen dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berlangsung di New York, Amerika Serikat (AS) pada tanggal 19 sampai dengan 26 September 2023.
Jokowi justru lebih memilih mengunjungi Ibu Kota Nusantara (IKN) untuk memastikan kelangsungan pembangunan proyek ratusan triliun itu.
Ketidakhadiran Jokowi di sidang tersebut mengundang perdebatan. Politikus Partai Demokrat Jansen Sitindaon, misalnya, tiba-tiba mengunggah pidato Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Entah apa maksudnya.
Yang jelas cuitan Jansen itu mendapat respons beragam dari warganet yang terhormat. Isu klasik tentang kemampuan bahasa Inggris Jokowi menjadi sorotan.
Dalam catatan Bisnis, sejak meraih tampuk kekuasaan pada tahun 2014 silam, Jokowi memang tak pernah sekalipun menyampaikan pidato di Sidang Majelis Umum PBB. Padahal di sidang itu para pemimpin negara biasanya mengangkat isu-isu strategis mulai dari kondisi geopolitik global, konflik di berbagai belahan dunia, dan paling lazim adalah penjajahan Israel di tanah milik Palestina.
Indonesia sebenarnya pernah memiliki momen penting dalam sidang umum PBB. Lewat forum PBB dunia mengecam agresi Belanda. Lewat sidang PBB pula Indonesia mencoba menggugat dominasi barat di negara-negara dunia ke 3.
Baca Juga
Pidato Sukarno berjudul "To Build The World Anew" tentang pembangunan kembali tatanan dunia dengan kebangkitan dan kemerdekaan bangsa Asia-Afrika dari imperialisme dan kolonialisme bahkan telah ditetapkan sebagai Memory of the World oleh PBB.
Namun demikian, Jokowi bukanlah Sukarno. Dia memiliki alasan tersendiri untuk tidak datang dalam momen tersebut. Pada awal pemerintahannya, dia selalu menugaskan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk hadir dalam ajang tersebut.
Sementara pada periode kedua pemerintahannya, Jokowi mengirim utusan, salah satunya Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, untuk hadir di kantor pusat PBB.
Absennya presiden Jokowi dalam setiap sidang itu sempat memunculkan rumor tentang kemampuan bahasa Inggris dan diplomasi luar negerinya.
Namun demikian, semua syak wasangka itu tidak sepenuhnya benar, kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Ukraina dan Rusia, momen G20 Bali, safari ke Afrika, hingga momen Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asean membuktikan kemampuan Jokowi dalam berhadapan dengan pemimpin dunia.
Menariknya, Jokowi berinteraksi dengan para pemimpin dunia menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa nasional dalam kancah diplomasi internasional ini sesuai dengan Perpres No.8/2019. Beleid ini pada intinya menekankan tentang penggunaan bahasa Indonesia dalam momen atau acara internasional.
Cara Jokowi berdiplomasi itu mirip dengan pemimpin negara-negara besar lainnya. Presiden China Xi Jinping, meski lulusan Amerika Serikat, dia tetap menggunakan bahasa nasionalnya dalam setiap pertemuan dengan siapapun dan kapanpun. Xi Jinping, sama halnya seperti Jokowi, juga jarang (bukan tidak pernah) menghadiri Sidang Majelis Umum PBB.
Presiden Rusia Vladimir Putin juga sama. Dia adalah bekas intelijen Uni Soviet dan konon menguasai bahasa Inggris hingga Jerman. Meski demikian, Putin tetap menggunakan bahasa Rusia dalam setiap pertemuan dengan kepala negara atau orang penting dari negara lain. Sangat jarang menemukan Putin mengucapkan bahasa Inggris kecuali saat sedang bernyanyi.
Recep Tayyip Erdogan, Presiden Turki sekarang nama resminya diganti menjadi Turkiye, juga jarang menggunakan bahasa Inggris. Erdogan konsisten menggunakan bahasa Turki dalam berbagai pertemuan internasional.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Di Indonesia memang memiliki standar sendiri. Masyarakat sering menganggap 'kemampuan bahasa Inggris' untuk menilai seseorang cerdas atau tidak. Semakin fasih orang bahasa Inggris dianggap semakin cerdas meski anggapan itu tidak sepenuhnya benar.
Presiden ke-2 Indonesia, Presiden Soeharto, adalah contoh pemimpin yang paling sering menggunakan bahasa Indonesia setiap kesempatan.
Presiden Soeharto tentu bukan pemimpin kaleng-kaleng. Dia adalah presiden terlama di Indonesia. Dia juga memiliki para pembantu-pembantu yang cerdas yang kemampuan ilmiah dan bahasanya tidak perlu dipertentangkan lagi.
Namun demikian, Presiden Soeharto sangat jarang bercakap atau menyampaikan pidato dengan menggunakan bahasa Inggris. Pada momen-momen internasional, dia memilih menggunakan bahasa Indonesia dibandingkan bahasa asing.
Pada Sidang Majelis Umum PBB tahun 1995, misalnya, Soeharto menyampaikannya menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa adalah salah satu identitas nasional. Bahasa juga menjadi 'pembeda' antara bangsa yang satu dengan yang lain.
Kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia juga merupakan pengejawantahan Sumpah Pemuda 1928 bahwa: Kami Poetra dan Poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia!