Gelombang panas laut mengganggu ekosistem, membunuh beberapa spesies dan memaksa spesies lainnya bermigrasi ke perairan yang lebih dingin.
Krisis iklim dapat menciptakan “keadaan gelombang panas permanen”, yang berarti spesies dan ekosistem tidak dapat lagi bertahan hidup di beberapa wilayah, tulis para penulis.
Hasil tangkapan dapat berkurang selama beberapa tahun, seperti yang terjadi pada perikanan kepiting dan kerang di lepas pantai Australia bagian barat setelah peristiwa pemanasan tahun 2011.
Migrasi spesies juga dapat mempengaruhi harga pasar ikan, lapangan kerja dan pengelolaan kuota.
Perusahaan snorkeling dan menyelam dapat mengurangi jumlah staf selama gelombang panas laut atau mengubah aktivitas mereka untuk meminimalkan kehilangan pekerjaan, saran para peneliti.
Beradaptasi terhadap perubahan iklim telah mengambil peran yang lebih besar dalam kebijakan publik selain memitigasi dampaknya.
Baca Juga
Pada perundingan iklim di Mesir tahun lalu, Sekjen PBB Antonio Guterres mengumumkan rencana lima tahun senilai US$3,1 miliar atau sekitar Rp47 triliun untuk membangun sistem peringatan dini global terhadap peristiwa cuaca ekstrem yang mematikan dan merugikan yang diperburuk oleh perubahan iklim.
Peristiwa El Nino yang terjadi setiap dua hingga tujuh tahun sekali ditandai dengan suhu permukaan laut yang lebih hangat dari rata-rata di Pasifik tengah dan timur dekat Khatulistiwa, dan berlangsung sekitar sembilan hingga 12 bulan.
Tahun ini telah terjadi gelombang panas laut yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan suhu tertinggi yang tercatat di Mediterania, Atlantik Utara, dan lepas pantai Florida.
El Nino saat ini bisa jadi sama kuatnya dengan El Nino sebelumnya yang tercatat pada tahun 2015-2016, tetapi berkembang lebih lambat. (Nizar Fachri Rabbani)