Para diplomat mengatakan pertemuan PBB pekan lalu tidak menyelesaikan isu-isu paling kontroversial seputar dana tersebut.
Kesepakatan PBB tahun lalu mengakhiri kebuntuan selama bertahun-tahun mengenai pendanaan kerusakan iklim yang sebelumnya ditolak oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa karena khawatir hal itu dapat menimbulkan tanggung jawab bagi negara-negara yang emisi historisnya memicu perubahan iklim.
Namun, kini banyak negara yang berselisih mengenai negara yang harus membayar dana tersebut, dan negara mana yang harus menerima bantuan.
Michai Robertson, mewakili kelompok negara-negara berkembang kepulauan kecil pada pertemuan PBB pekan lalu, mengatakan semua negara berkembang harus berhak menerima bantuan.
Namun, negara-negara kepulauan kecil yang merupakan salah satu negara paling rentan terhadap dampak iklim menyatakan bahwa pendekatan terbuka untuk semua ini juga harus memastikan komunitas kecil yang sangat rentan tidak terpinggirkan oleh tuntutan negara-negara yang lebih besar.
Definisi PBB mengenai negara-negara maju yang harus berkontribusi pada pendanaan iklim yang sudah ada sejak tahun 1990-an tidak mencakup negara-negara besar seperti China dan negara-negara dengan kekayaan per kapita tinggi seperti Uni Emirat Arab, yang menjadi Presiden KTT iklim PBB tahun ini.
Baca Juga
Sebuah usulan dari Amerika Serikat menyatakan bahwa dana tersebut harus menarik dana tunai dari pemerintah, sektor swasta, lembaga filantropi, dan sumber-sumber inovatif baru.
“Saat ini terdapat perbedaan pandangan,” kata proposal AS tersebut.
Yang menjadi sorotan dalam perundingan ini adalah kegagalan negara-negara kaya memenuhi janji pada tahun 2009 untuk menyediakan dana sebesar US$100 miliar atau sekitar Rp1.500 triliun per tahun mulai tahun 2020 dalam bentuk pendanaan iklim kepada negara-negara miskin.
Pengingkaran janji tersebut telah memicu ketidakpercayaan dan kebencian di antara negara-negara miskin yang menghadapi seruan untuk mengurangi emisi CO2, tetapi kesulitan mengumpulkan dana untuk melakukan hal ini. (Nizar Fachri Rabbani)