Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) angkat bicara terkait dengan pernyataan ekonom Faisal Basri soal program hilirisasi pemerintah lebih banyak dinikmati oleh negara lain ketimbang Indonesia sendiri.
Menurutnya, pemerintah telah membuat strategi industrialisasi yang menyeluruh sehingga memberikan nilai tambah yang lebih baik di dalam negeri ke depannya, sehingga Jokowi kembali mempertanyakan kalkulasi dari ekonom senior tersebut.
“Hitungan dia gimana? kalau hitungan kami, saya berikan contoh nikel, saat diekspor mentahan, setahun kira-kira [nilai tambah] hanya Rp17 triliun. Setelah masuk ke industrial downstreaming, ada hilirisasi, menjadi Rp510 triliun. Bayangkan saja,” ujarnya kepada wartawan di Stasiun LRT Dukuh Atas, Kamis (10/8/2023).
Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa melalui hilirisasi pemerintah juga meraih pemasukan melalui kenaikan nilai tambah tersebut. Pemasukan seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan Pasal (Pph) Badan, PPh Karyawan, PPh Perusahaan, royalty, bea ekspor, hingga Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Jadi. logikanya tidak seperti itu, logikanya tadi sudah diberikan angka. Artinya apa? Kontribusi terhadap PDB itu pasti lebih besar dong, logikanya bagaimana,” pungkas Jokowi.
Sebelumnya, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri mengatakan pemerintah seharusnya menggalakkan kebijakan industrialisasi yang menurutnya bisa lebih mendorong penciptaan rantai bisnis terstruktur.
Baca Juga
“Sayangnya tidak ada yang namanya strategi industrialisasi, yang ada kebijakan hilirisasi,” katanya dalam diskusi Kajian Tengah Tahun Indef, Selasa (8/8/2023).
Dia menjelaskan pentingnya strategi agar tidak hanya meningkatkan nilai tambah, kebijakan industrialisasi juga akan mendorong struktur industri dan ekonomi Indonesia menjadi lebih kuat.
Realitas yang terjadi saat ini, kata Faisal, program hilirisasi pemerintah lebih banyak dinikmati China ketimbang Indonesia sendiri.
Indonesia baru sebatas memproses bijih nikel menjadi nickel pig iron (NPI) atau feronikel. Sementara itu, 99 persen dari NPI ini diekspor ke China. Dengan demikian, menurutnya kebijakan tersebut lebih mendukung pengembangan industri di China.
Faisal menambahkan, ekspor besi dan baja Indonesia yang naik signifikan sebagai dampak dari program hilirisasi, seharusnya komoditas ini bisa lebih ditingkatkan lagi nilai tambahnya di dalam negeri.
“Sungguh dari hilirisasi kita tidak dapat banyak, maksimum 10 persen, 90 persennya lari ke China,” tutur Faisal.