Bisnis.com, JAKARTA - Pengusaha Kazuyuki Tanioka khawatir terhadap restoran Jepang miliknya di China, akan radiasi dari air radioaktif olahan yang akan dibuang ke laut dari pembangkit nuklir Fukushima.
China meningkatkan pemeriksaan impor makanan dari Jepang karena masalah radiasi yang sudah berjalan lebih dari 3 pekan.
Restoran miliknya di China Toya Tanioka yang telah berdiri 8 tahun selama ini sudah berjuang menghadapi pembatasan Covid-19 di negaranya, yang baru mulai mereda pada akhir tahun lalu.
Restorannya sekarang menghadapi kekurangan pelanggan dan makanan laut menjelang rencana Jepang membuang air radioaktif yang diolah ke laut dari pembangkit nuklir Fukushima itu.
"Saya sangat khawatir apakah kami dapat melanjutkan. Ketidakmampuan untuk mengimpor bahan makanan benar-benar merupakan situasi hidup atau mati bagi kami," kata chef-restoran (49) dari Kumamoto, Jepang selatan, seperti dilansir dari CNA, pada Senin (31/7/2023).
China adalah importir terbesar makanan laut Jepang. Namun, tidak lama setelah tsunami dan gempa bumi merusak pembangkit Fukushima pada 2011, impor makanan dan produk pertanian dari 5 wilayah prefektur Jepang dilarang.
Baca Juga
Kemudian, China memperluas larangannya yang sekarang mencakup 10 dari total 47 wilayah Jepang, yang tetap menjadi pasar ekspor makanan laut terbesar Jepang.
Pembatasan Impor
Pembatasan impor terbaru diberlakukan setelah pengawas nuklir PBB menyetujui rencana Jepang untuk membuang air olahan ke laut pada bulan ini.
China mengecam keras tindakan tersebut, yang juga menghadapi tentangan di dalam negeri, dengan menekankan pembuangan itu membahayakan kehidupan laut dan kesehatan manusia.
Impor dari Jepang sejak itu terhenti, dengan beberapa pejabat khawatir akan risiko terburuk yang kemungkinan datang.
Pemeriksaan China yang lebih ketat telah menyebabkan penundaan besar-besaran di bea cukai, dan peringatan keras telah menjauhkan pelanggan.
Unggahan dan tagar yang mengatakan makanan Jepang bersifat radioaktif dan harus diboikot marak di media sosial China.
Pemilik restoran Jepang lainnya di Beijing Kenji Kobayashi (67) mengaku kehilangan sepertiga dari pelanggannya pada bulan ini.
"China mengatakan itu adalah air yang terkontaminasi, sedangkan Jepang mengklaim itu adalah air yang dimurnikan. Perbedaan antara kedua perspektif itu sangat besar, dan itu memengaruhi tingkat pemahaman," lanjutnya.