Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengamat: Komitmen Negara Hilang Dalam RUU Kesehatan

Pengamat menilai dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan) komitmen negara akan hilang.
Tenaga medis dan tenaga kesehatan melakukan aksi demo di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (5/6/2023) untuk menyuarakan penolakan pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law - BISNIS/Ni Luh Angela.
Tenaga medis dan tenaga kesehatan melakukan aksi demo di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (5/6/2023) untuk menyuarakan penolakan pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law - BISNIS/Ni Luh Angela.

Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat menilai dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan) komitmen negara dalam menjamin kesehatan masyarakat, khususnya perlindungan kesehatan ibu dan anak akan hilang.

Pasalnya, dalam RUU yang disebut juga Omnibus Law Kesehatan itu, tidak ada lagi kewajiban (mandatory) anggaran untuk kesehatan ibu dan anak seperti halnya yang termaktub dalam UU No. 36/2009 tentang Kesehatan.

Pengamat kesehatan Hermawan Saputra mengatakan dalam UU No. 36/2009 tersebut terdapat mandatory spending untuk kesehatan ibu dan anak. Dia merinci baik di tingkatan pemerintah pusat, daerah provinsi dan kabupaten masing-masing anggaran tersebut sebesar 5 persen.

“Dulu di UU No. 36/2009 ada 5 persen APBN [Anggaran Belanja Pendapatan Negara], 5 persen APBD Provinsi dan 5 persen APBD Daerah. Jadi 10 persen ini peran daerah. Hilang ini dalam rancangan yang sekarang [RUU Kesehatan],” ujar Hermawan dalam diskusi bertajuk “RUU Kesehatan Jamin Perlindungan Kesehatan Bayi dan Anak?”, Selasa (21/6/2023).

Dia mengungkapkan, dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah pun kesehatan ibu dan anak sangat jelas diakomodir. Khususnya pasal 14 dan pasal 298 itu disinggung tentang indikator kesuksesan pembangunan daerah atau Standar Pelayanan Minimal (SPM).

Dari 12 indikator tersebut, menurut dia ada 5 indikator yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak. Mulai dari kesehatan ibu hamil, ibu yang bersalin, menyusui, pelayanan kesehatan untuk bayi/balita hingga remaja.

Hal tersebut, kata Hermawan, sesuai pasal 28 poin H ayat 1 UUD 1945, setiap warganegara berhak hidup sejahtera mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

“Ketika hilang mandatory dalam RUU Kesehatan, ini memunculkan keraguan masa depan anak bangsa Indonesia,” kata dia.

Lebih lanjut, Hermawan mengungkapkan bahwa kondisi kesehatan ibu dan anak pun masih sangat mengkhawatirkan. Dia menjelaskan angka imunisasi dasar lengkap kita hanya 67,3 persen dan angka stunting masih tinggi yaitu 24,4 persen. Padahal, idelanya angat stunting idealnya di bawah 10 persen dan vaksinasi anak serratus persen.

“Jangan sampai 1 dari 10 anak kita masih stunting, di Jakarta masih seperti itu. apalagi di daerah Timur lebih parah lagi. 3 dari 10 anak itu masih stunting. Maka itu, berkaitan kesehatan ibu dan anak. Maka dalam stunting intervensi terhebatnya ada pada 1.000 hari pertama kehidupan [HPK], sejak janin keluar dalam kandungan,” tutur Hermawan.

Sebelumnya RUU Kesehatan juga ditolak oleh berbagai organisasi profesi medis. Sebut saja Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) dan Ikatan Apoteker Indonesai (IAI).

Sementara itu, RUU tersebut akan diambil keputusan tingkat II untuk menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR RI pada Masa Persidangan saat ini.

"Insya Allah pada Masa Sidang ini akan segera diambil keputusan tingkat II-nya pada waktu yang tepat," kata Ketua DPR RI Puan Maharani di kompleks parlemen, Selasa (20/6/2023).

Puan menyebut DPR akan menindaklanjuti dan mencermati RUU Kesehatan yang telah diambil persetujuan dalam pembicaraan tingkat I pada rapat kerja Komisi IX DPR RI, Senin (19/6). "Alhamdulillah di tingkat I sudah diputuskan," ucapnya.

Meski, lanjut dia, ada dua dari sembilan fraksi DPR RI yang menolak untuk meneruskan pembicaraan tingkat II dan pengambilan keputusan terhadap RUU kesehatan dalam Rapat Paripurna DPR RI.

"Walaupun masih ada teman-teman dari dua fraksi yang tidak menyetujui, namun kan sesuai dengan mekanismenya, tingkat I itu sudah menjadi satu keputusan yang kemudian bisa diambil untuk jadi suatu keputusan di DPR," tutur dia.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Indra Gunawan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper