Bisnis.com, JAKARTA – Hari ini, 21 Mei 2023, tepat seperempat abad yang lalu, Indonesia memasuki lembaran sejarah baru, era Reformasi. Kejatuhan rezim Orde Baru menjadi penanda keran demokrasi kembali terbuka.
Kini, 25 tahun berselang, demokrasi di Ibu Pertiwi telah melalui beragam dinamika. Kebebasan berpendapat dan berserikat memberikan warna yang pekat pada demokrasi Indonesia.
Kebebasan berekspresi hingga menyampaikan kritik dan pendapat yang terbuka lebar, di satu sisi menjadi bukti kesehatan demokrasi terjaga.
Namun, tak jarang kebebasan tersebut dianggap kebablasan sehingga pemerintah memberikan 'rem' yang tertuang dalam sejumlah regulasi.
Peneliti politik senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menyebut demokrasi Indonesia saat ini mengalami stagnasi.
Menurutnya, pada dekade pertama yakni tahun 2000-an, api Reformasi masih membara. Pada masa itu, profesor peraih gelar doktor dari University of Exete ini melihat banyak agenda reformasi yang coba diinstitusikan dan dikristalisasi lewat aturan.
Baca Juga
Contohnya, dilakukan amendemen UUD 1945 agar lebih demokratis, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sukses dibentuk, berbagai UU terkait otonomi daerah diterbitkan, dwifungsi ABRI juga berhasil dihapuskan.
Namun, kini Firman merasa api Reformasi sudah jadi arang. Menurutnya, dewasa kini banyak kelakuan elite politik yang sebenarnya tak sesuai semangat Reformasi sudah jadi kewajaran.
Dia menyebutkan, korupsi dan politik uang makin jadi kebiasaan, nepotisme kembali bermunculan, serta perangkat negara diarahkan untuk kepentingan kelompok tertentu.
Sejalan dengan itu, pemegang kekuasaan kerap memberi pembenaran atas berbagai kelakuannya itu. Aturan karet juga digunakan untuk memberi tekanan ke suara kritis. Akibatnya, sikap permisif atau suka mewajarkan seakan jadi budaya. Mental Reformasi pun semakin memudar.
“Akhirnya kita berpolitik tanpa patokan, akhirnya tidak ada kepastian hukum, dan akhirnya tidak ada dignity di situ; tidak ada penghargaan terhadap penghormatan nilai-nilai demokrasi, tidak ada penghargaan pada penghormatan hukum,” ujar Firman kepada Bisnis, dikutip Minggu (21/5/2023).
Memang, bercermin pada data Varieties of Democracy (V-Dem), penelitian yang berpusat di University of Gothenburg, Swedia, sejak 2010 pada umumnya indeks demokrasi di Indonesia cenderung menurun.
V-Dem memakai empat komponen inti untuk mengukur indeks demokrasi suatu negara yakni kebebasan, partisipasi, musyawarah, dan kesetaraan.
Pertama, indeks kebebasan demokrasi (liberal democracy index). Dalam V-Dem, prinsip kebebasan demokrasi menekankan pentingnya perlindungan hak individu dan kelompok minoritas dari cengkeraman negara serta tirani mayoritas.
Setidaknya ada empat variabel yang diperhitungkan dalam mengukur indeks ini, yaitu kebebasan sipil yang dilindungi secara konstitusional, supremasi hukum yang kuat, peradilan yang independen, dan checks and balances yang efektif membatasi pelaksanaan kekuasaan pemerintah.
Kedua, indeks partisipasi demokrasi (participatory democracy index). Prinsip ini menekankan pentingnya partisipasi aktif warga negara dalam semua proses politik, baik elektoral maupun non-elektoral.
Beberapa variabel yang diukur yaitu keterlibatan masyarakat dalam organisasi sipil serta demokrasi langsung atau ajang elektoral baik di tingkat nasional maupun daerah.
Ketiga, indeks kemusyawarahan demokrasi (deliberative democracy indeks). Prinsip ini fokus pada proses tercapainya suatu keputusan dalam pemerintahan. Menurut prinsip musyawarah, suatu kebijakan tak boleh mementingkan satu pihak tertentu.
Oleh sebab itu, variabel yang diperhitungkan yaitu bagaimana suatu kebijakan dirumuskan lewat dialog yang saling menghormati di antara para pemegang kepentingan.
Keempat, indeks kesetaraan demokrasi (egalitarian democracy indeks). Prinsip ini menekankan pada distribusi kekuatan politik di semua kelompok sosial yang ada, baik berdasarkan kelas, gender, agama, dan etnis.
Variabel yang diukur yaitu partisipasi, perwakilan, perlindungan hukum, dan pengaruh terhadap pembuatan serta implementasi kebijakan dari semua kelompok sosial.
Demokrasi di Indonesia Saat Ini
Trennya, sejak Reformasi 1998, indeks empat prinsip inti demokrasi meningkat tajam dan cenderung terus menanjak selama dekade pertama 2000an. Namun, cenderung terjadi penurunan sejak 2012 hingga kini.
Bahkan, pada umumnya, demokrasi saat ini tak beda jauh dari masa awal Reformasi. Ambil contoh indeks kebebasan demokrasi, skornya pada 2022 (0,42) tak lebih baik dari pada 1999 (0,43). Artinya, usia Reformasi makin dewasa tapi demokrasi makin kekanakan.
Sementara itu--selama Era Reformasi, musyawarah (deliberative) mendapat skor yang paling baik. Sementara itu, prinsip kesetaraan (egalitarian) menjadi yang terburuk.
Dengan kata lain: meski pembahasan suatu kebijakan cenderung mengikutsertakan berbagai pihak, namun tetap ada ketimpangan kekuatan politik antar pihak-pihak itu.
Jika coba ditarik kesimpulan, musyawarah pembahasan suatu kebijakan seperti rapat dengar pendapat di DPR mungkin hanya sekadar formalitas sebab hasilnya tetap terjadi ketimpangan di antara kelompok sosial—entah itu berdasar kelas, gender, agama, atau etnis.