Bisnis.com, JAKARTA — Rabu 13 Mei 1998 yang kemudian dikenal sebagai peristiwa kerusuhan Mei 1998, terjadi huru-hara di beberapa wilayah Jakarta yang dipicu oleh Tragedi Trisakti 1998 pada 12 Mei dan kelak memicu berakhirnya era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto sebagai presiden.
Tepat 25 tahun silam, saat puncak rangkaian peristiwa Mei yang terjadi 12-14 Mei, Presiden Soeharto tengah mengadakan kunjungan luar negeri ke Mesir.
Kerusuhan Mei 1998 yang kelak juga mengandung kerusuhan rasial mendorong Presiden Soeharto untuk mempercepat kunjungannya di Mesir.
Mendapat kabar kerusuhan Mei 1998, ketika itu, Presiden Soeharto, dalam pernyataan tertulis yang dibacakan oleh Wakil Presiden BJ Habibie menyampaikan keprihatinan dan bela sungkawa atas terjadinya tragedi Trisakti.
Peristiwa tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 adalah peristiwa di mana terjadi penembakan yang menewaskan 4 mahasiswa, yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie saat tengah demonstrasi menuntut Soeharto turun.
Di Mesir, Presiden Soeharto mengemukakan jika masyarakat tidak mempercayainya lagi, dia bersedia untuk diganti asalkan dengan cara konstitusional.
“Saya tak akan menggunakan kekuatan bersenjata [untuk mempertahankan kepemimpinan],” ujarnya seusai bertemu Presiden Mesir Hosni Mubarak di Kairo, seperti dilaporkan oleh wartawan Bisnis Indonesia Endy Subiantoro, Kamis, 14 Mei 1998.
Presiden Soeharto Siap Madeg Pandito
Pak Harto menambahkan bila tidak menjabat sebagai presiden lagi akan lebih mendekatkan diri pada Tuhan.
“Saya siap madeg pandito, memberikan nasihat kepada anak cucu dan mendekatkan diri kepada Tuhan,” katanya seperti dikutip dalam salah satu berita utama Bisnis Indonesia edisi Kamis 14 Mei 1998 berjudul Pak Harto: Silakan Ganti Saya.
Madeg pandito dalam cerita pewayangan digambarkan sebagai kebiasaan raja-raja Jawa saat sepuh untuk mewariskan kerajaan kepada penerusnya untuk kemudian pergi meninggalkan kerajaan, menyendiri dan bertapa.
Di Mesir, Presiden Soeharto juga membantah bahwa selama ini terjadi monopoli usaha oleh keluarganya. Pak Harto juga menyangkal bahw anilai kekayaan pribadinya merupakan yang terbesar keempat di dunia. "Kalau itu benar akan saya bagi-bagikan kepada rakyat Indonesia," ujar Soeharto.
Akibat kerusuhan, nilai tukar rupiah hari itu, Rabu (13/5/1998), sempat anjlok 18,68 persen dalam sehari, dari Rp9.250 per dolar AS ke level Rp11.375. Adapun, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melorot 6,6 persen ke posisi 402,05.