Bisnis.com, JAKARTA - Dalam menyambut Ramadan, tak jarang umat muslim di Indonesia melakukan beragam persiapan, mulai dari yang sifatnya lahir hingga batin.
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha menjelaskan bahwa salah satu persiapan memasuki Ramadan adalah dengan mendalami kajian literatur dari para ulama terdahulu.
“Di antara ijazah dari Mbah Maimoen Zubair juga ijazah bapak, ngendika (mengatakan) 'Ihdinas shiratal mustaqim. Shiratal ladzina an‘amta ‘alaihim ghairil maghdhubi alaihim wa lad dhallin.' Jadi, kita tidak bisa saleh tanpa meniru orang terdahulu. Kita tidak bisa baik tanpa meniru orang terdahulu,”ungkap Gus Baha melansir NU Online, Kamis (16/3/2023).
Karena dalam ayat tersebut, lanjut Gus Baha, Allah tidak hanya berfirman ihdinasirotol mustaqim atau “Tunjukan kami jalan yang lurus” semata. Tetapi, Allah juga berfirman bahwa jalan yang benar yakni jalan mereka yang telah Allah beri nikmat.
“Jadi, Allah menghendaki ini, ada masternya,” ujarnya.
Dalam tradisi pesantren, Gus Baha menjelaskan bahwa untuk mendalami literatur ulama terdahulu ada tradisi yang namanya pasaran. Seluruh civitas pesantren akan mengaji kitab dengan intesitas lebih banyak dibanding bulan-bulan selain Ramadan.
Baca Juga
“Kalau tradisi di pesantren, misalnya satu kiai ngajar 2-3 kitab setelah salat fardu. Bisanya kalau Ramadan ini full. Karena ini untuk melengkapi orang Indonesia dapat berkahnya Ramadan, kalau kita belajar kitab atau membacakan kitab ke masyarakat supaya tahu caranya niatnya orang dulu ketika puasa atau cara pandang orang dulu tentang puasa,” jelasnya.
Dengan begitu, diharapkan seseorang dapat membekali dirinya dengan pemahaman yang lebih jernih dalam memahami Ramadan.
“Cara pandang Ramadan secara benar, paling tidak, kita merasa lapar. Betapa sakitnya orang miskin yang lapar, terus menghormati makan karena begitu nikmat. Ketika puasa melihat makanan yang kita sepelekan pada saat tidak puasa, ketika Ramadan spesial semua. Bahkan air pun spesial, gedang (pisang) goreng spesial,” paparnya.
“Di sini ada syukur yang luar biasa. Itu kalau tidak baca literatur ulama terdahulu, kita tidak akan tahu,” tutupnya.