Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Seabad NU: Politik Jalan Tengah Kaum Sarungan

NU ibarat kapal besar. Sebuah kapal yang menjadi tumpuan bagi kelompok Islam tradisional.
Nahdlatul Ulama/nu.or.id
Nahdlatul Ulama/nu.or.id

Bisnis.com, JAKARTA – Hampir seabad lalu, sebuah organisasi lahir. Namanya Nahdlatul Ulama (NU) atau orang Indonesia sering menyingkatnya NU. NU didirikan oleh sejumlah ulama, salah satu yang terkenal adalah Kyai Haji Hasyim Asy’ari. Organisasi ini dirintis untuk membela kepentingan kelompok islam tradisionalis.

Islam tradisionalis identik dengan pendidikan pesantren. Ciri khas pengikutnya adalah mengenakan peci hitam, sarung dan mengkaji kitab kuning. Identitas ini sangat melekat sehingga mereka acapkali diberi label sebagai kaum sarungan. Kaum yang memiliki ciri sendiri dan secara kultural berbeda dengan orang-orang barat atau Timur Tengah.

Tak ayal sejak awal kemunculannya, NU mampu menarik simpati ummat di berbagai penjuru tanah air, wabil khusus bagi mereka yang tinggal di daerah pedesaan. Mereka merasa terwakili dengan keberadaan NU. Saat ini kurang lebih 40 juta orang Indonesia mengidentifikasi diri mereka sebagai warga Nahdliyin atau NU.

Dengan basis massa yang cukup besar, NU menjadi organisasi sangat dinamis bahkan sering digoda oleh kepentingan politik praktis.

Para petualang politik melihat kader dan simpatisan NU sebagai ceruk elektoral yang sangat potensial. NU atau elit di PBNU kemudian sering dipolitisasi dan masuk dalam dinamika tarik menarik kekuasaan.

'Keterlibatan' NU dalam kontestasi politik kemudian memunculkan kesan bahwa NU tak netral. NU telah berpihak dan menjadi tameng untuk membela kepentingan kelompok politik tertentu.

Padahal, seperti yang telah disinggung di atas, sejatinya NU mewakili berbagai macam latar belakang, bukan hanya etnis, tetapi juga latar belakang politik. Kecenderungan NU atau elit NU yang berpihak ke suatu kelompok politik, tentunya berpotensi mencederai keberagaman di tubuh NU.

Meskipun, harus diakui politik dan NU ibarat dua sisi mata uang. Sejarah NU dan politik telah begitu mengakar dan berlangsung selama puluhan tahun.

Pada dekade 1950-an, misalnya, NU yang semula bagian dari Masyumi, resmi menjadi partai politik mandiri. NU sebagai parpol bahkan ikut dalam kontestasi Pemilu 1955.

NU kemudian berubah menjadi kekuatan politik yang mapan. Peran NU bahkan semakin dominan ketika Masyumi dibekukan karena elitnya terlibat dalam gerakan PRRI di Sumatra Barat.

Tumbangnya Masyumi menjadikan NU sebagai poros utama 'politik' Islam pada saat itu. Puncaknya, ketika persinggungan politik aliran semakin kuat pada dekade 1960-an, NU mampu tampil sebagai kekuatan penyeimbang kubu komunis.

NU adalah kekuatan politik islam yang menerima konsep penyatuan ideologi ala Soekarno dalam bentuk Nasionalis, Agama, dan Komunis atau Nasakom.

Keputusan NU untuk menerima Nasakom dari perspektif politik tentu bisa dimaklumi. Sebab, jika NU memilih menarik diri, seperti yang dilakukan kekuatan politik lainnya, Soekarno akan ditinggal sendiri dan negara akan jatuh ke kelompok kiri. Dan jika itu terjadi, NU bisa bernasib sama dengan Masyumi.

Situasi politik kemudian berbalik ketika pecah peristiwa 1965. NU yang antikomunis tampil di garis depan. Para santri dan unit paramiliternya menjadi kekuatan pemukul paling efektif dalam menghancurkan pengikut komunis di berbagai daerah, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Konon, sekitar 500.000 sampai 3 juta orang 'komunis' menjadi tumbal pertarungan politik waktu itu. Soekarno yang sudah kadung mendeklarasikan diri sebagai presiden seumur hidup tumbang. Orde Baru kemudian lahir dari keacauan politik paling berdarah dalam sejarah politik kontemporer tersebut.

Sayangnya bulan madu antara Orde Baru dan NU hanya sebentar. Orde Baru yang militeristik berubah menjadi kekuatan menindas. Jenderal Soeharto, penguasa Orde Baru mengedepankan stabilitas dibanding demokrasi. Kemerdekaan kemudian dibungkam. Organisasi politik disatukan ke dalam tiga golongan. 

Golongan Islam yang sebelumnya memiliki banyak kendaraan politik seperti NU, PSII, Perti, dan Parmusi dipaksa bergabung ke dalam PPP. Sementara yang golongan nasionalis dan golongan politik non Islam dipaksa bergabung ke PDI.

Satu-satunya golongan non-parpol, tetapi memiliki pengaruh politik yang cukup kuat dalam politik ala Orde Baru adalah Golongan Karya alias Golkar. Golkar adalah mesin politik yang menjadi penopang kekuasaan Orde Baru selama lebih dari tiga dasawarsa.

Namun rupanya, represi Orde Baru terhadap demokrasi tak hanya berhenti pada pengkerdilan organisasi politik. Upaya untuk mengontrol kehidupan sosial politik semakin kuat. Pertentangan antara golongan agama dan negara mencapai puncaknya ketika penguasa Orde Baru, Soeharto, menerapkan azas tunggal Pancasila.

Sontak rencana itu mendapat tentangan dari banyak pihak. Golongan islam politik tidak setuju dengan gagasan pemerintah tersebut.

Di sisi lain, upaya pemaksaan ideologi tersebut kemudian melahirkan sedikit kegundahan bagi kekuatan Islam, seperti NU. Ada dua perdebatan yang cukup kuat waktu itu, pertama menerima Pancasila dengan konsekuensi menihilkan Syariat Islam. Kedua, menolak Pancasila sebagai azas tunggal yang berarti akan berhadapan dengan negara.

Di tengah kegamangan tersebut, NU kemudian menggelar Musyawarah Nasional di Situbondo pada tahun 1983. Waktu itu, lahirlah konsep NU kembali ke Khittah. Khittah artinya tujuan dasar. Kembali ke Khittah artinya kembali ke sangkan paraning dumadi NU. 

Dalam posisi itu, NU kemudian berpandangan Islam dan Pancasila bukanlah sesuatu yang saling bertentangan. Secara politik NU menerima Pancasila sebagai ideologi. Namun khusus soal kegiatan keagamaan, prinsip syariah tak bisa dikesampingkan.

Salah satu tokoh NU, KH Mustofa Bisri, dalam kanal YouTube - nya, bercerita tentang bagaimana konsepsi tersebut dilahirkan. Menurutnya konsep kembali ke khitah adalah strategi NU untuk bertahan dari represi Orde Baru. "Kembali ke khittah itu maksudnya supaya yang dibonsai Orde Baru (Suharto) itu hanya politiknya saja, sementara peran lainnya dikembalikan ke NU."

Kembali ke khittah menurut kyai yang kerap disapa Gus Mus itu juga ingin kembali menempatkan NU supaya bertindak secara proporsional. Tidak terlalu ke kanan dan tidak pula terlalu ke kiri.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper