Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat Pendidikan dari Center of Education Regulation and Development Analysis (Cerdas) Indra Charismiadji menilai edukasi kebencanaan ditambahkan ke dalam kurikulum sekolah belum menjadi hal mendesak.
Dia menegaskan meskipun Indonesia berada di lingkaran api (ring of fire) dan pertemuan lempeng melintasi sekitar Ibu Kota, edukasi kebencanaan dalam kurikulum pendidikan dini belum diperlukan.
Alasannya adalah untuk meningkatkan respons masyarakat bila terjadi bencana alam, khususnya yang terkakt dengan aktivitas geologi, perlu dilakukan pendekatan kontekstual.
"Menambah kurikulum belum jadi jawaban, tetapi sosialisasi, mulai dari layanan masyarakat, iklan di televisi, hadir ke sekolah ajari anak-anak secara praktikal, melalui poster yang bisa dijangkau masyarakat. Karena, bila jadi kurikulum, pelajaran anak makin banyak, nanti ada ujiannya, padahal edukasi kebencanaan harus kontekstual bukan teoritikal,” tuturnya kepada Bisnis, Rabu (23/11/2022).
Dia berharap pemerintah belajar bahwa edukasi kebencanaan tidak menjadi mendesak karena didorong oleh gempa Cianjur, tetapi lebih memahami bahwa Indonesia berada di titik lingkaran api yang harus selalu siap sedia terhadap bencana.
“Jadi, edukasi juga bisa dilakukan mulai dari awal seharusnya memang Pemerintah dalam desain memberikan izin pembangunan gedung, inspeksi bangunan, mengacu pada upaya melindungi tumpah darah Indonesia. Jangan hanya karena gempa cianjur, tetapi dari awal memang harus melindungi termasuk saat membangun fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur pendukung lainnya,” imbuhnya.
Baca Juga
Kerawanan Bencana di Indonesia
Sekadar informasi, peristiwa gempa bumi yang terjadi di Cianjur, Jawa Barat pada Senin (21/11) kembali mengingatkan bahwa Indonesia merupakan negara yang rawan bencana.
Selain karena berada di kawasan Cincin Api Pasifik, kapasitas penanganan dan literasi bencana turut menjadi faktor kerawanan tersebut. Hal itu turut tergambar dalam laporan World Risk Report 2022 yang dirilis Bündnis Entwicklung Hilft dan IFHV of the Ruhr-University Bochum.
Dalam laporan tersebut, Indonesia memiliki skor Indeks Risiko Global (WRI) sebesar 41,46 pada 2021. Skor tersebut menempatkan Indonesia di posisi ketiga tertinggi secara global.
Posisi Indonesia berada di bawah Filipina dan India dengan skor sebesar 46,82 poin dan 42,31 poin. Skor WRI Indonesia terbagi atas lima lingkup. Lingkup pertama berupa paparan (exposure) bencana mendapatkan skor sebesar 39,89 poin atau masuk kategori sangat tinggi.
Sementara itu, dari lingkup kerentanan (vulnerability), Indonesia mendapatkan skor sebesar 43,10 poin atau masuk kategori tinggi. Lingkup ini memperhitungkan jumlah pengungsi, pencari suaka, serta orang-orang yang terkena dampak bencana alam atau konflik dalam lima tahun terakhir.
Berdasarkan lingkup kerawanan (susceptibility), Indonesia memiliki skor sebesar 33,48 poin atau masuk kategori tinggi. Kemudian, lingkup kurangnya kapasitas penanganan bencana di Indonesia memiliki skor sebesar 50,67 atau masuk kategori sangat tinggi.
Lingkup terakhir yang diperhitungkan terkait kurangnya kapasitas adaptasi terhadap bencana. Di lingkup ini, Indonesia mendapatkan skor sebesar 47,19 poin atau masuk kategori sedang. Adapun, Kolombia berada di bawah Indonesia dengan skor WRI sebesar 38,37 poin pada 2021.