Bisnis.com, JAKARTA --- Mata publik sedang tertuju di gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali. Di pulau itu sejumlah pemimpin dunia sedang bertemu guna membahas kondisi global yang makin tindak menentu akibat serangan Rusia ke Ukraina.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai si empunya acara tentu tidak mau ketinggalan momentum. Dia ingin KTT G20 Bali mampu mencetak sejarah. Paling tidak berhasil menghasilkan kesepakatan untuk mencairkan atau bahkan menghentikan ketegangan yang sedang terjadi saat ini.
Indonesia sejatinya memiliki pengalaman diplomasi yang sangat panjang. Indonesia juga bukan anak bau kencur dalam penyelenggaraan event-event politik besar berskala internasional, seperti G20 yang berlangsung di Bali.
Pada masa Orde Lama, misalnya, Indonesia bahkan menjadi salah satu inisiator dan penggangas sejumlah kerja sama politik internasional. Pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika yang menghasilkan deklarasi Dasa Sila Bandung adalah contohnya.
Pembahasan tentang KAA Bandung pada tahun 1955 telah banyak diulas oleh kalangan akademisi dan jurnalis. Salah satunya adalah jurnalis Indonesia Raya, Mochtar Lubis. Menariknya, Mochtar Lubis menghadirkan reportase yang agak tidak biasa mengenai KAA.
Saat itu, ketika mayoritas jurnalis sibuk membahas substansi pertemuan, Mochtar justru mengulas tanpa ampun sepak terjang 'Panitia Keramahtamahan' untuk peserta konferensi. Mochtar mengakui sangat sulit untuk mengecilkan makna KAA di Bandung pada waktu itu. Apalagi konferensi tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh penting dari dua benua.
"Namun Indonesia Raya memilih untuk mengangkat isu yang memalukan dari peristiwa itu," tulis David T. Hill dalam buku Jurnalisme dan Politik di Indonesia. Buku ini merupakan biografi kritis terhadap sosok Mochtar Lubis.
Cerita reportase itu bermula ketika Moctar Lubis yang bertugas sebagai salah satu jurnalis peliput konferensi mendapatkan informasi tentang kartu "Hospitality Committe" lengkap dengan daftar 'rumah aman' yang menyediakan perempuan bagi para delegasi Konferensi Asia Afrika.
Mochtar Lubis tertarik dengan isu itu. Dia kemudian mendatangi satu persatu rumah aman tersebut, melakukan reportase dan menjadikan hasil reportase itu sebagai menu utama koran Indonesia Raya. David menyebutkan bahwa reportase Mochtar Lubis cukup berhasil dan sedikit mengurangi prestise penyelenggaraan KAA.
Apalagi, Moctar Lubis juga mengangkat isu itu secara berseri. Salah satu reportasenya menuding seorang pegawai negeri bernama Lie Hok Tay menjadi operator Hospitality Committe termasuk menyediakan perempuannya.
Sontak, liputan sensasional Indonesia Raya mendapat respons dari banyak pihak, salah satunya muncul dari tokoh pers kiri, Njoto. Njoto adalah sosok penting di balik koran Harian Rakjat yang kerap diasosiasikan dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Njoto, sebagaimana ditulis David, jelas langsung menyerang Mohtar Lubis dan Indonesia Raya. Njoto menyebut hasil reportase Moctar Lubis sebagai contoh pers kanan yang mengecilkan prestasi pemerintah dan mencemooh Presiden Soekarno.
Senada dengan Njoto, pemimin redaksi sayap kiri Antara, Djawoto menjuluki gaya reportase Mochtar Lubis dan Indonesia Raya sebagai 'Jurnalisme Koboi'. "Ini merupakan acuan tersirat atas Mochtar Lubis, yang karena berbadan tinggi dan memiliki hubungan dengan Amerika Serikat, dikarikaturkan sebagai koboi jangkung."
Kesan Rosihan Anwar
Sama dengan posisi saat ini, kondisi politik global saat pelaksanaan Konferensi Asia Afrika juga sedang tidak stabil. Dunia terbelah menjadi dua blok antara kubu Barat yang kapitalis dan Balik Timur yang komunis. Pertentangan dua kubu ini memengaruhi stabilitas politik di sejumlah negara, temasuk negara-negara Asia Afrika.
Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil: Petite Histoire Indonesia jilid 2 menulis bahwa aksi saling serang antara delegasi terjadi sepanjang konferensi berlangsung. Delegasi dari Thailand, Turki dan Sri Lanka (Ceylon) menyerang komunisme.
Wakil komunis salah satunya adalah Republik Rakyat China. Perdana Menteri China Chou En Lai datang memimpin langsung delegasi. Rosihan menggambarkan suasana ketika Chou En Lai naik di atas podium. Chou mengenakan pakaian seragam khas revolusi China yang sering dipakai oleh Mao Tse Tung.
Suasana hening terjadi ketika Chou naik ke podium. Dia berbicara cukup lantang dan melengking tinggi. PM Chou, lanjut Rosihan, berbicara dengan pedenya kepada khalayak dan pemimpin negara yang hadir.
Dia ingin membungkam suara sumbang yang ditujukan kepada komunisme dan tentunya RRC. "Delegasi China telah datang ke sini untuk mencari persatuan dan tidak untuk bertengkar!"
Kendati dipenuhi dengan perdebatan, konferensi negara Asia dan Afrika berhasil merumuskan Dasa Sila Bandung. Salah satu substansi paling penting dalam deklarasi itu antara lain pengakuan terhadap persamaan semua ras dan persamaan semua bangsa besar dan kecil.
Rosihan menuturkan bahwa Indonesia sebagai negara telah berhasil menjadi tuan rumah yang baik. Meskipun nasibnya seperti Mochtar Lubis, dia diserang banyak pihak karena tulisan Indonesia Raya tentang Hospitality Committe. "All in all, saya bersyukur sebagai wartawan dapat mengalami peristiwa bersejarah, yaitu diadakannya Konferensi Asia Afrika di Bandung."