Bisnis.com, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak menyebut keadilan restoratif yang diungkapkannya saat proses uji kelayakan dan kepatutan capim KPK di depan para anggota Komisi III DPR hanyalah opini semata. Johanis tidak bisa memastikan keberlanjutan konsep tersebut dalam penanganan tindak pidana korupsi di Tanah Air.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar mengaku bahwa opini dari Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak terkait dengan keadilan restoratif dalam penanganan korupsi mustahil untuk direalisasikan.
Penyebabnya, dia menegaskan bahwa tindak pidana korupsi merupakan perbuatan kejahatan yang dilakukan secara sengaja sehingga tidak dapat diterapkan pendekatan keadilan restoratif.
“Tidak mungkin, korupsi itu kejahatan yang tidak bisa dimaafkan, dilakukan bukan karena kekhilafan tetapi kesengajaan, tidak bisa hanya mengembalikan hasil korupsi dimaafkan. Jadi, keliru itu pendapat yang menyatakan pemberantasan korupsi diselesaikan dengan konsepsi keadilan restoratif,” tuturnya saat dihubungi Bisnis, Jumat (28/10/2022).
Menurutnya, cukup mustahil untuk merealisasikan konsep tersebut meskipun hanya sebagai opini, sehingga dia menilai hukuman yang pantas bagi koruptor adalah diambil seluruh harta hasil korupsinya serta pelaku dihukum seberat-beratnya yaitu seumur hidup.
Senada, Pengamat hukum sekaligus Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi mengatakan bahwa penghentian perkara pidana korupsi berdasarkan keadilan restoratif tidak bisa dilaksanakan karena bertentangan dengan Pasal 4 UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Baca Juga
“Apalagi UU 31/1999 untuk penghentian penyidikan tindak pidana korupsi hanya bisa dilakukan demi alasan hukum yaitu tidak cukup bukti, kadaluwarsa, dan nebis,” katanya.
Dia melanjutkan, penghentian penuntutan perkara korupsi demi kepentingan umum juga dilakukan oleh Jaksa Agung setelah mendengarkan saran dari lembaga terkait, seperi MA, DPR, KPK, Kepolisian.