Bisnis.com, JAKARTA – Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai kewajiban pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) lingkup privat mengikat platform untuk membuka dan menyerahkan akses data kepada pemerintah rentan terhadap pelanggaran data pribadi.
“Kebijakan ini perlu dievaluasi, apakah memang pemerintah sudah bisa menyediakan perlindungan terhadap data yang memadai dan menjamin kerahasiaannya,” jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan lewat rilisnya, Minggu (31/7/2022)
Dia menjelaskan Pasal 21 Permenkominfo 5/2020 menyatakan bahwa PSE Lingkup Privat wajib memberikan akses terhadap Sistem Elektronik dan/atau Data Elektronik kepada, (a) kementerian atau lembaga dalam rangka pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan (b) APH dalam rangka penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat (4) butir (i), disebutkan setiap PSE Lingkup Privat wajib melampirkan surat keterangan yang menyatakan bahwa mereka menjamin dan melaksanakan kewajiban pemberian akses terhadap Sistem Elektronik dan Data Elektronik dalam rangka memastikan efektivitas pengawasan dan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, di dalam dokumen pendaftaran wajibnya.
Di satu sisi, ketentuan mengenai tata kelola akses data dan sistem dalam Permenkominfo 5/2020 ini dapat menjadi pedoman dan rujukan standar dari kementerian/lembaga (K/L) maupun APH untuk dapat menjalankan kewenangan mereka dan meminta akses terhadap data dan sistem dari PSE.
Kementerian Komunikasi dan Informatika dapat menjadi pembimbing untuk memastikan kewenangan dari K/L dan APH dapat dijalankan dengan memperhatikan perlindungan data pribadi dan prosedur yang adil (due process).
Pingkan menyimpulkan bahwa akses ke sistem milik PSE Lingkup Privat belum tentu menjadi pilihan terbaik dan pilihan ini harus diambil sebagai upaya terakhir setelah semua tindakan mitigasi keamanan informasi dilakukan.
CIPS menyarankan pemerintah untuk terus berdialog dan mengakomodir berbagai masukan. Setidaknya ada tiga hal yang dapat dilakukan untuk memastikan due process of law, khususnya untuk aspek legalitas, otorisasi atau penetapan dari badan peradilan/badan independen dan ketentuan mengenai pengujian dan keberatan.
Sementara itu, Ketua Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas) Ilham Habibie menyebut proses diskusi dan negosiasi masih sangat dimungkinkan dalam menyikapi pro dan kontra kewajiban pendaftaran PSE. Ia menyebut kedua pihak mempunyai poin masing-masing dan dapat ditemukan titik temunya lewat proses tersebut.
Sebagai negara dengan jumlah populasi yang besar, Indonesia memiliki daya tarik bagi PSE. Meski menyebut perlu adanya ruang untuk berdiskusi dan negosiasi, pada prinsipnya peraturan ini berlaku untuk semua PSE dan mereka wajib mengikuti peraturan tersebut.
“Indonesia adalah negara besar dengan jumlah populasi yang besar, sebagian besar juga sudah menggunakan internet. Tentu perlu ada regulasi yang mengatur supaya semua berjalan dengan lancar,” jelasnya dalam Digiweek 2022, Kamis (28/7/2022).