Bisnis.com, JAKARTA — Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), menilai Pemerintah masih harus fokus menekan prevalensi perokok anak yang masih tinggi.
Peneliti PKJS-UI Renny Nurhasana mengatakan, tingginya angka perokok pada kelompok rentan ini disebabkan oleh maraknya rokok murah sehingga masih terjangkau harganya oleh anak-anak.
Dia menyoroti fenomena ini sebagai akibat dari banyaknya rokok murah dari golongan 2 yang memiliki tarif cukai lebih murah dibandingkan dengan rokok golongan 1.
“Hal ini berpotensi mendorong variasi harga rokok semakin lebar, di mana membuat rokok murah makin mudah ditemukan,” ujarnya lewat rilisnya, Minggu (31/7/2022).
Dia melanjutkan, banyaknya rokok murah pada golongan 2 ini, berpeluang lebih besar terjadi pada anak-anak yang semestinya mendapatkan perlindungan dari perilaku merokok.
Renny menjelaskan pada satu bungkus rokok terdapat 12 batang, maka selisih dari tarif cukai antara golongan 1 dan golongan 2 hampir menyentuh angka Rp 5.000 per bungkus.
Baca Juga
“Hal ini mendorong pabrikan mencari jalan untuk produksi rokok di golongan 2, termasuk melakukan turun golongan. Konsumen juga akan tertarik beralih ke rokok golongan 2 karena selisih harga yang besar dan jauh lebih murah," tuturnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan kondisi ini justu tidak sejalan dengan target pemerintah untuk menurunkan prevalensi perokok anak di Indonesia.
“Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah ini adalah memperkecil celah tarif cukai antargolongan dengan lebih mendekatkan tarif cukai golongan 2 dengan tarif cukai golongan 1 agar selisih tarif rokok per bungkus di pasaran tidak terlalu besar. Pada akhirnya harga rokok murah akan naik dan semakin tidak terjangkau anak-anak,” tuturnya.