Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memberikan sinyal positif jika turut dilibatkan dalam audit perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Sebagaimana diketahui, pemerintah berencana melakukan audit sektor perkebunan kelapa sawit sebagai buntut dari kisruh kenaikan harga serta kelangkaan minyak goreng.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Ukay Karyadi mengatakan bahwa pihaknya terbuka jika pemerintah ingin menggandeng lembaga yang dipimpinnya itu.
“Kami terbuka untuk penelitian, audit bersama atau apapun istilahnya,” ujarnya Selasa (31/5//2022).
Selama ini, tuturnya, KPPU juga sudah melakukan audit di sektor ini berkaitan dengan bidang kebijakan persaingan maupun investigasi penegakan hukum. Tetapi, kata dia, data yang dimiliki komisi belum sampai pada kepemilikan hak guna usaha (HGU) dari kelompok perusahaan atau grup.
KPPU, tuturnya, hanya mengetahui data-data tersebut jika ada notifikasi merger atau akuisi di mana menurutnya, kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit kian terkonsentrasi ke sejumlah kelompok usaha. Data 2021 menunjukkan bahwa terjadi 10 aksi korporasi di mana enam diantaranya dilakukan oleh perusahaan asal Malaysia dan sisanya oleh perusahaan dalam negeri.
“Jadi petani kelapa sawit menjual lahannya ke perusahaan menengah, dan perusahaan menengah kemudian diakuisisi oleh perusahaan besar,” ungkapnya.
Karena itu, KPPU menekankan agar dalam melakukan audit, pemerintah bisa memeriksa kepemilikan HGU kelompok perusahaan lalu melakukan pembatasan kepemilikan HGU untuk mempersempit jurang ketimpangan pengausaan lahan.
Direktur Kebijakan Persaingan Usaha KPPU Marcellina Nuring mengatakan bahwa berdasarkan kajiannya, ketimpangan kepemilikan HGU perkebunan kelapa sawit sangat mencolok.
Jika dirinci, petani sawit ada 99 persen tetapi hanya menguasai 41,35 persen lahan sawit. Sebaliknya, jumlah perusahaan swasta hanya sekitar 0,07 persen tetapi menguasai lahan sebesar 51,42 persen. Sisanya, perusahan negara yang berjumlah 0,19 persen, menguasai 4,23 persen lahan.
Adapun rata-rata luas penguasaan perkebunan sawit, kata dia, seorang petani rakyat rerata memiliki 2,21 ha lahan, sementara perusahaan swasta rerata 4.247 ha.
Dari sisi regulasi, tuturnya, tiga undang-undang yakni UU Pokok Agraria, UU Perkebunan dan UU Cipta Lapangan Kerja mengamanatkan adanya pembatasan penguasaan lahan. Dari ketiga regulasi itu, kata dia, semestinya aturan turunannya juga mewajibkan adanya pembatasan. Akan tetapi, dalam PP 18/2021 yang merupakan aturan turunan dari UU Ciptaker, tidak memuat ketentuan itu.
Aturan turunan UU Perkebunan, lanjutnya termasuk Peraturan Menteri Pertanian No. 98/2013 mengharuskan setiap perusahaan atau kelompok perusahaan maksimal menguasai lahan perkebunan sebesar 100.000 ha. Tapi, ucapnya, ketentuan ini dilanggar.
“Contohnya, lima perusahaan produsen minyak goreng menguasai lahan melebihi ketentuan. Penguasaan ini berpengaruh menimbulkan konsentrasi pada persaingan usaha, di mana sektor hilir bisa dikontrol dari hulu. Jika tidak diatur penguasaannya, akan terjadi ketimpangan karena terjadi perbedaan akses antara kuat dan lemah,” pungkasnya.