Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Deputy Secretary General dan perwakilan delegasi membunyikan kulkul atau kentongan Bali saat membuka secara resmi GPDRR ke-7 di BNDCC, Bali, pada Rabu (25/5/2022).
Mengapa kulkul dipilih menjadi penanda pembukaan Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) ke-7, sebuah helatan berskala internasional?
Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB Raditya Jati, menyampaikan bahwa kulkul memiliki makna erat dengan isu GPDRR, yaitu pengurangan risiko bencana.
“Dengan memukul kulkul, bunyi yang dihasilkan merupakan peringatan dini kepada masyarakat,” ujarnya melalui keterangan resmi, Rabu (25/5/2022).
Kulkul merupakan alat komunikasi tradisional masyarakat Bali. Dalam tradisi Bali, alat yang terbuat dari kayu ini biasanya ditempatkan pada bangunan bale di balai banjar atau pura.
Dikutip dari buku Nilai dan Fungsi Kentongan pada Masyarakat Bali, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, istilah kulkul ditemukan dalam syair Jawa-Hindu Sufamala. Beberapa lontar Bali juga menyebutkan keberadaan kulkul seperti Awig-awig Desa Sarwaada, MarkaNdeya Purana, dan Diwa Karma.
Baca Juga
Dalam buku itu disebutkan pula, ada empat jenis kulkul yang dikenal oleh masyarakat Bali yaitu Kulkul Dewa, Kulkul Bhuta, Kulkul Manusia, dan Kulkul Hiasan. Keempatnya memiliki fungsi masing-masing sehingga waktu penggunaannya pun berbeda.
Setidaknya ada empat fungsi utama dari kulkul yakni sebagai penanda pertemuan rutin masyarakat Bali; penanda pengerahan tenaga kerja; penanda gejala alam; dan penanda bahaya.
Fungsi kulkul tersebut, menurut Raditya, berkorelasi dengan peringatan dini sebagai upaya pengurangan risiko bencana. Dia berharap kulkul tetap hidup di dalam masyarakat dan menjadi bagian dari sistem peringatan dini bencana.
Ketua Sekretariat Panitia Nasional Penyelenggara GPDRR ini menambahkan, kulkul merupakan bentuk kearifan lokal dari Indonesia sebagai praktik baik dalam pengurangan risiko bencana.
“Kearifan lokal seperti diharapkan terus hidup menjadi bentuk resiliensi berkelanjutan. Pada akhirnya peringatan dini ini dapat menyelamatkan masyarakat setempat dari ancaman bencana,” ujarnya.
Bukan hanya Bali, masyarakat Jawa juga mengenal alat serupa, yaitu kentongan. Dengan ketukan tertentu, bunyi yang dihasilkan memberikan peringatan tertentu pula.