Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Gerakan Pemuda Desa mandiri (Garda Sandi) Cokro Wibowo Wibisono menilai, keputusan pemerintah mengizinkan perjalanan mudik pada lebaran Idulfitri 2022 menjadi pelepas dahaga, setelah dua kali larangan mudik lebaran di masa pandemi Covid-19.
“Masyarakat akhirnya mendapat oase menyejukkan guna melepas rindu pada kampung halaman. Meski kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi ternyata tidak menyurutkan animo masyarakat untuk mudik lebaran,” ujarnya, mengutip keterangan tertulis, Senin (2/5/2022).
Budayawan muda itu mengatakan, mudik pun merupakan tradisi masyarakat Indonesia yang telah berlangsung sejak lama, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka.
“Tradisi mudik lebaran diyakini mulai terjadi pada masa kerajaan Mataram Islam, di mana para pemangku pemerintahan di daerah kekuasaan Mataram menyempatkan diri menghadap raja pada bulan Syawal sekaligus mengunjungi handai taulan di pusat kerajaan,” tuturnya
Cokro melanjutkan, sebagian sejarawan menyebut tradisi mudik sudah dikenal pada era Majapahit yang dikenal memiliki wilayah kekuasaan sangat luas hingga ke semenanjung Malaya.
Pejabat pemerintahan di wilayah jauh tersebut secara rutin menghadap Raja guna menyatakan kesetiaan dan melaporkan jalannya pemerintahan.
“Budaya mudik pada masa Indonesia modern terjadi seiring dengan meningkatnya urbanisasi sejak awal Orde Baru. Gencarnya pembangunan dan industrialisasi, membuat aktivitas mudik menjadi rutinitas tahunan para perantau. Momentum lebaran serta syawalan yang dipandang baik untuk merajut tali silaturrahim dengan sanak saudara, menyebabkan tradisi mudik awet hingga kini,” ujarnya.
Kepadatan kendaraan di pintu keluar Jalan Tol Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (28/4/2022). Pada arus mudik H-4 Lebaran 2022, kendaraan yang keluar di Gerbang Tol Cileunyi menuju arah Garut-Tasikmalaya hingga Jawa Tengah terpantau padat./Antara
Menurut Cokro, selain untuk mengunjungi dan berkumpul bersama keluarga, tradisi mudik juga dimaksudkan agar bisa berbagi dengan keluarga besar di kampung.
"Momen berbagi ini sekaligus untuk meminta doa agar pekerjaan dan penghidupan di perantauan berlangsung makin baik. Mudik juga terapi spritual dan psikologis di antara kesibukan dan rutinitas pekerjaan," katanya.
Mantan Sekjen Presidium Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) ini pun mengingatkan, budaya mudik berpotensi menyebabkan nilai-nilai primordial jadi awet di tengah masyarakat perkotaan.
Penyebabnya, identitas genetis, suku, bahasa dan budaya asal, serta identitas sosial bakal terus melekat meski para perantau telah tinggal di kota lebih dari satu generasi.
"Nilai-nilai primordial ini dapat menghambat hadirnya nilai perkotaan yang harusnya lebih mondial. Misalnya, anggapan kampung halaman sebagai rumah sebenarnya, sedangkan perantauan sebagai tempat berteduh sementara bisa menghambat intensitas interaksi sosial," katanya.
Sekadar informasi, pada lebaran Idulfitri 2020 dan 2021, pemerintah memberlakukan larangan mudik untuk mengendalikan pandemi virus Covid-19. Namun, setelah masifnya pelaksanaan vaksinasi, masyarakat akhirnya dapat kembali merasakan kenormalan ibadah ramadhan dan lebaran Idul Fitri seperti biasanya.
Kementerian Perhubungan memprediksi sekitar 85,5 juta orang akan melakukan perjalanan mudik pada lebaran 2022. Jumlah tersebut didominasi oleh para pemudik dengan menggunakan kendaraan roda empat sebanyak 23 juta orang, sedangkan lainnya menggunakan moda transportasi umum seperti bus, kereta api, pesawat dan kapal laut.