Bisnis.com, JAKARTA – Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saiful Mujani mengatakan bahwa amandemen UUD 1945 yang menandai jatuhnya Orde Baru terjadi karena alasan objektif bangsa Indonesia sedang krisis.
Pembatasan masa jabatan presiden dua periode dan masing-masing periode lima tahun adalah amanat reformasi.
Proses amandemen konstitusi, tambahnya, untuk membatasi masa kekuasaan presiden dibuat anggota DPR dan MPR berdasarkan aspirasi masyarakat yang mengalami krisis tahun 1998.
“Ada krisis yang besar ketika itu. Terjadi kerusuhan, ekonomi hancur, dan seterusnya. Dan dianalisis, sumber kekacauan itu adalah masalah politik. Politik itu terkait dengan UUD kita yang tidak membatasi kekuasaan,” katanya melalui kanal Youtube SMRC TV, Jumat, (11/3/2022).
Saiful menjelaskan bahwa ketentuan dua periode sangat sakral karena merupakan amanat reformasi yang berdarah-darah.
“Itu adalah semacam terapi pada buruknya praktik politik kita pada masa Orde Baru,” jelasnya.
Baca Juga
Saiful mengingatkan bahwa Indonesia punya sejarah kekuasaan yang tidak dibatasi. Presiden Soekarno diangkat menjadi presiden seumur hidup.
Dia mengakhiri kekuasaan dengan sangat tragis, yakni dijatuhkan MPRS dan sakit. Hal ini kemudian diulang pada Orde Baru. Karena tidak terkontrol, Soeharto bahkan meninggal dalam status sebagai tersangka korupsi.
“Pengalaman sejarah itu penting ketika kita bicara untuk mengubah batasan-batasan kekuasaan tersebut, terutama pembatasan kekuasan eksekutif. Itu amanat reformasi yang sangat fundamental,” terangnya.
Meski begitu, Guru besar ilmu politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini menuturkan bahwa adanya aspirasi untuk menambah masa jabatan kepala negara diperoleh. Dengan catatan ada alasan yang kuat.
Saiful mencatat dalam sejarah, amandemen konstitusi Indonesia baru dilakukan setelah reformasi dan dengan alasan obyektif yang kuat.
Beberapa kasusnya adalah krisis ekonomi dan politik hingga terjadi kerusuhan dan presiden Soeharto mengundurkan diri.
“Bahkan memberlakukan kembali UUD 1945, itu dilakukan dengan dekrit. Dan itu bersamaan dengan matinya demokrasi Indonesia pada tahun 1959. Zaman Soeharto, kita tidak melakukan amandemen. Baru pada masa reformasi inilah kita melakukan amandemen karena alasan obyektif yang nyata tersebut,” ungkapnya.