Bisnis.com, JAKARTA - Parlemen Libya yang berbasis di wilayah timur menyetujui pemerintahan baru meskipun pemerintah yang berkuasa berjanji untuk tidak menyerahkan kekuasaan. Keadaan ini mendorong proses perdamaian yang rapuh ke ambang kehancuran dan meningkatkan risiko konflik baru.
Perdana Menteri yang ditunjuk, Fathi Bashagha kemarin menyerahkan susunan kabinetnya ke Dewan Perwakilan Rakyat yang berbasis di timur, di mana 92 dari 101 legislator yang hadir menyetujuinya setelah pemungutan suara yang disiarkan langsung dari kota Tobruk.
Pemerintahan baru meliputi tiga wakil perdana menteri, 29 menteri dan enam menteri negara bagian. Hanya ada dua perempuan di kabinet, yakni Menteri Kebudayaan dan Seni dan Menteri Negara urusan Perempuan seperti dikutip Aljazeera, Rabu (2/3/2022).
Pemungutan suara itu memperburuk perebutan kekuasaan dengan pemerintahan sementara Abdulhamid al-Dbeibah, yang dilantik melalui proses yang didukung PBB tahun lalu. Dengan demikian akan ada dua pemerintahan paralel, yang dapat menggagalkan upaya yang dipimpin PBB untuk mendamaikan negara yang dilanda perang itu.
Tidak ada komentar langsung dari Dbeibah, yang berulang kali berjanji hanya akan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah terpilih dan mengatakan pemilihan parlemen harus diadakan pada bulan Juni.
Libya terpecah selama bertahun-tahun antara pemerintahan saingan yang berbasis di timur dan barat, masing-masing didukung oleh banyak milisi dan pemerintah asing. Kelompok bersenjata yang berlawanan telah dimobilisasi ke ibu kota Tripoli selama beberapa pekan terakhir dan pasukan asing yang mendukung faksi-faksi yang bertikai tetap tertanam di negara itu.
Krisis politik meninggalkan Libya tanpa pemerintahan yang bersatu dan kekuatan politik dan militer utama terpecah belah tanpa jalan yang jelas ke depan.
Tanda-tanda pertama dari masalah serius muncul akhir tahun lalu ketika pemilihan presiden yang dijadwalkan pada 24 Desember untuk menggantikan pemerintah transisi yang dipimpin oleh Dbeibah ditunda tanpa batas waktu. Alasan penundaan itu adalah
ketidaksepakatan tentang kandidat yang memenuhi syarat dan aturan dasar untuk mengadakan pemungutan suara.
Pada 10 Februari, parlemen menunjuk Bashagha untuk membentuk pemerintahan baru dan pemilihan umum harus diadakan dalam waktu 14 bulan.
Ddbeibah menolak untuk minggir dan berjanji untuk mempertahankan kekuasaan sampai pemilihan umum berlangsung. Bulan lalu, parlemen Libya menunjuk Bashaga sebagai perdana menteri baru menyusul kegagalan Dbeibah untuk mengadakan pemilihan umum.