Bisnis.com, JAKARTA - Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyebutkan terdapat dua hal kunci menuju pembukaan bertahap untuk menjamin produktivitas masyarakat yang aman Covid-19.
Keduanya adalah angka positivity rate rendah dan orang yang dites (testing) dengan jumlah yang memadai.
"Produktivitas masyarakat yang tidak aman berpotensi menyebabkan lonjakan kasus yang justru menurunkan capaian ekonomi jauh lebih besar," katanya, dikutip dari kanal YouTube Sekretariat Presiden, Sabtu (26/2/2022)
Untuk lebih memahaminya, Wiku memaparkan dua hal kunci tersebut. Pertama, positivity rate yang rendah. Positivity rate merupakan proporsi orang positif dari keseluruhan orang yang dites. Jika positivity rate rendah, artinya menunjukkan hanya sedikit orang positif dari keseluruhan orang yang dites.
"Sehingga, dapat disimpulkan bahwa risiko penularan yang ada di komunitas, cenderung kecil," lanjutnya.
Terkait dengan positivity rate, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan angka di bawah 5 persen sebagai tolak ukur terkendalinya kasus di masyarakat. Standar ini mencakup hasil yang didapatkan baik dari rapid antigen maupun PCR, tergantung kondisi masing-masing negara.
Baca Juga
Kedua, jumlah orang yang dites memadai. Hal ini harus diperhatikan, jika jumlah orang yang dites tidak memadai baik dengan rapid antigen ataupun PCR, maka angka positivity rate tidak akan valid menggambarkan kondisi risiko penularan di tengah masyarakat.
Penyebabnya, karena kedua metode tersebut memiliki tujuan yang berbeda. Yaitu sebagai skrining bagi masyarakat yang akan melakukan perjalanan dan sebagai peneguhan diagnosa memastikan seseorang positif Covid-19.
Testing untuk skrining, bertujuan mengetahui sakit tidaknya seseorang terutama sebelum beraktivitas yang berpotensi menulari orang lain. Seperti mobilitas atau kegiatan perkantoran.
Alat skrining yang digunakan seperti rapid antigen, akan lebih menyasar kelompok masyarakat sehat. Akurasi rapid antigen juga cenderung lebih rendah dibanding testing untuk tujuan peneguhan diagnosa.
Sementara itu, testing dengan tujuan peneguhan diagnosa seperti PCR, memiliki akurasi yang lebih tinggi, dan lebih banyak digunakan untuk memastikan positif tidaknya orang yang bergejala atau kontak erat.
Kedua testing ini dan kelompok masyarakat yang dites juga akan mempengaruhi angka positivity rate. Seperti testing dengan tujuan peneguhan diagnosa saja dapat menghasilkan angka positivity rate yang lebih tinggi dibanding skrining. Hal ini karena menyasar orang-orang yang kemungkinan besar positif.
Sebaliknya, positivity rate yang didapatkan dari hasil skrining saja, bisa jadi rendah. Namun tidak memberikan gambaran yang valid, sebab hasil dari orang yang kemungkinan besar positif justru tidak terhitung. WHO saat ini telah menetapkan target testing, yaitu seribu orang diperiksa per 1 juta penduduk.
Untuk itu, testing perlu dilakukan dengan jumlah yang memadai, baik untuk keperluan skrining maupun peneguhan diagnosa. Sebab keduanya berkontribusi atas kebenaran angka positivity rate.