Bisnis.com, JAKARTA -- Perang antara Rusia dengan Ukraina mulai berkecamuk. Sejumlah pihak khawatir, perang antara dua negara Slavik tersebut akan berpengaruh terhadap stabilitas geopolitik global, termasuk Indonesia.
Indonesia, kendati tidak secara langsung terlibat dalam konfrontasi antara dua negara bekas Uni Soviet tersebut, sudah sepatutnya mulai mempersiapkan berbagai strategi.
Potensi distabilitas politik, ekonomi dan keamanan bisa saja menjalar ke kawasan lainnya jika eskalasi konflik kedua negara tersebut semakin memuncak. Apalagi banyak pakar yang meramalkan bahwa skenario terburuk dari konflik dua negara itu adalah meletusnya perang dunia ketiga.
Jika hal itu terjadi, Indonesia bisa saja mendapatkan getah dari konflik Rusia-Ukraina. Ekonomi kawasan akan ambruk. Paling buruk medan perang Eropa Timur beralih ke Laut China Selatan, dan menghadapkan Indonesia dengan negara-negara digdaya dari utara.
Indonesia sendiri sebenarnya memiliki hubungan yang cukup baik dengan Rusia maupun Ukraina, terutama di bidang pertahanan. Indonesia adalah salah satu negara yang mengakuisisi pesawat tempur pabrikan Rusia. Indonesia juga telah menjalin hubungan militer yang cukup erat dengan Ukraina.
Sementara itu, dari sisi ekonomi Indonesia, transaksi perdagangan antara Indonesia dengan dua negara tersebut juga setiap tahun terus menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2021 lalu, misalnya, neraca perdagangan Indonesia dengan Rusia tercatat surplus sebanyak US$239,8 juta.
Baca Juga
Namun terlepas dari hal itu, konflik antara Ukraina yang didukung barat dengan Rusia akan menimbulkan ketidakpastian baru bagi dunia yang sedang berjibaku dengan pandemi. Bahaya kelangkaan energi dan ambruknya pondasi ekonomi, akan mengintai di depan mata.
Harga Minyak Melejit
Belum sampai sehari ketika perintah Putin untuk menginvasi Ukraina, sejumlah indikator ekonomi global langsung terkerek naik signifikan.
Harga minyak global melesat ke level US$100 per barel untuk pertama kalinya sejak 2014. Ini merupakan pukulan ganda bagi ekonomi dunia lantaran menekan prospek pertumbuhan dan menaikkan tingkat inflasi.
Data Bloomberg hingga 12.16 WIB, minyak Brent melonjak 4,65 persen atau 4,50 poin ke US$101,34 per barel sementara minyak WTI naik 4,59 persen atau 4,23 poin ke US$96,33 per barel.
(Suasana konflik antara Rusia dengan Ukraina)
Mengutip Bloomberg, Kamis (24/2/2022), lonjakan harga minyak merupakan kombinasi yang mengkhawatirkan bagi Federal Reserve AS dan sesama bank sentral karena mereka berusaha menahan tekanan harga terkuat dalam beberapa dekade tanpa menggagalkan pemulihan ekonomi dari pandemi.
Adapun bagi Indonesia, konflik antara dua negara Slavik tersebut bagai pisau bermata dua.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan memastikan harga migas maupun komoditas energi lainnya akan terkerek. Di satu sisi, kondisi ini akan menjadi durian runtuh alias windfall bagi Indonesia dengan penguatan pada harga komoditas.
“Secara otomatis ke depan PNBP [pendapatan negara bukan pajak] akan meningkat. Kemudian juga dari sisi pajak akan mengalami kenaikan,” katanya kepada Bisnis, Kamis (24/2/2022).
Kondisi ini diharapkan dapat dijadikan momentum untuk mencapai target lifting serta produksi tahunan maupun hingga 2030. Selain itu, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dapat berlomba untuk meningkatkan pengeboran sehingga dapat menjaga maupun meningkatkan produktivitas mereka.
Momentum ini agaknya perlu menjadi pemicu bagi percepatan penerapan teknologi enhanced oil recovery atau EOR. Langkah ini perlu segera dikebut untuk mencapai target lifting migas 1 juta barel minyak per hari (BOPD) dan 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030.
“Serta kegiatan eksplorasi saya harapkan bisa tumbuh [di tengah penguatan harga komoditas[,” terangnya.
Pukulan di Sektor Hilir
Di sisi lain, ketegangan di Eropa Timur akan memberi pukulan bagi sektor hilir. Dari penguatan harga migas dunia, beban subsidi akan naik akibat harga minyak penguat. Kondisi ini juga akan berdampak pada peningkatan Indonesian crude price (ICP).
Beban subsidi ini tidak hanya terjadi pada sektor kelistrikan, akan tetapi turut terjadi pada sektor bahan bakar. Bila situasi ini terus terjadi bukan tidak mungkin akan terjadi kenaikan inflasi.
“Pastinya Pertamina akan semakin terpukul kalau misalnya Pertamax dan Pertalite tidak dinaikan. Kecuali pemerintah mau memberikan kompensasi menjadi 100 persen. Kalau kita lihat dari Perpres 117/2021 hanya 50 persen [dikompensasi] itupun dengan komposisi campur Premium,” terangnya.
“Saya pastikan sektor komoditas lainya turut mengalami kenaikan, untuk komoditas mineral bahkan komoditas pertanian seperti CPO ikut mengalami kenaikan karena kekhawatiran pasar akan kurangnya pasokan kalau invasi ini benar-benar meluas.”
Imbauan Jokowi
Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan ketegangan yang terjadi antara Rusia dan Ukraina harus segera dihentikan dan perang tidak boleh terjadi.
Semua pihak yang terlibat, kata Jokowi, harus menahan diri dan kita semua harus berkontribusi pada perdamaian. "Perang tidak boleh terjadi," kata Jokowi melalui akun Twitter @jokowi, Senin (21/2/2022).
Menurutnya, kondisi pandemi Covid-19 yang melanda dunia harus dihadapi dengan sinergitas dan kolaborasi seluruh negara. Seluruh dunia, kata Jokowi, saat ini sebaiknya fokus pada upaya pemulihan ekonomi.
Adapun, upaya penyelesaian konflik di Ukraina kini tengah diupayakan pemimpin-pemimpin dunia.
Terkini, Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Presiden Rusia Vladimir Putin menyetujui proposal dari Prancis Emanuel Macron untuk mengadakan KTT AS-Rusia di Ukraina.
Menurut pernyataan dari Istana Elysee Prancis, baik Biden maupun Putin, yang berbicara dengan Macron dalam panggilan telepon terpisah pada hari Minggu, masing-masing telah menerima prinsip pertemuan puncak semacam itu.