Apa yang sebenarnya terjadi?
Selain banyaknya keganjilan dalam perumusan kebijakan itu, Fadli juga mempertanyakan alasan di balik munculnya peraturan tersebut. Terlebih lagi, aturan itu dikeluarkan saat kondisi sedang pandemi.
Dijelaskan Fadli, merujuk data BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2021 terdapat 21,32 juta orang, atau 10,32 persen penduduk usia kerja, yang terdampak Covid-19.
Dari jumlah itu, penduduk bekerja yg mengalami pengurangan jam kerja karena Covid-19 jumlahnya mencapai 17,41 juta orang, sementara 1,82 juta orang menjadi pengangguran karena Covid-19, dan 1,39 juta tidak bekerja karena Covid-19.
Menghadapi situasi tersebut, bisa dipastikan telah terjadi kenaikan klaim terhadap dana JHT.
"Saya kira, kenaikan klaim JHT akibat pandemi ini telah menekan arus kas BPJS Ketenagakerjaan, sehingga Pemerintah kemudian segera merilis peraturan yang mengubah mekanisme pencairan JHT," tambahnya.
Baca Juga
Apalagi, kata dia, Dirut BPJS Ketenagakerjaan pernah menyampaikan bahwa hasil investasi dana jaminan sosial JHT sepanjang tahun 2021 mencapai Rp24 triliun, namun di sisi lain jumlah klaim yang dibayarkan mencapai Rp37 triliun.
Kalau diasumsikan bahwa pembayaran klaim JHT dilakukan menggunakan hasil investasi, maka untuk tahun lalu saja ada defisit yang sangat besar, yaitu mencapai Rp13 triliun.
"Pertanyaannya kemudian, bagaimana defisit itu ditutupi? Apakah klaim JHT tahun 2021 ditutupi oleh iuran JHT tahun tersebut? Kalau begitu, berarti telah terjadi praktik 'gali lubang tutup lubang' di BPJS Ketenagakerjaan," katanya.
Jika itu yang terjadi, lanjut Fadli, maka selain faktor kezaliman terhadap kaum buruh, ia juga melihat ada persoalan serius dalam soal manajemen investasi dana JHT yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan yang harus segera dibenahi.
Disampaikannya, kalau menyimak penjelasan Dirut BPJS Ketenagakerjaan, 65 persen dana JHT diinvestasikan pada obligasi dan surat berharga, di mana 92 persen di antaranya merupakan Surat Utang Negara (SUN); 15 persen ditempatkan pada deposito yang 97 persennya berada pada Himpunan Bank Negara (Himbara) dan Bank Pembangunan Daerah (BPD); 12,5 persen disimpan pada saham yang didominasi pada saham blue chip, yang termasuk dalam indeks LQ45; 7 persen diinvestasikan pada reksa dana, di mana reksa dana tersebut berisi saham-saham bluechip yang juga masuk dalam LQ45; dan terakhir, sebanyak 0,5 persen ditempatkan pada properti dgn skema penyertaan langsung.
Dengan struktur investasi semacam itu, maka bisa dikatakan sebagian besar tabungan para pekerja dalam JHT tadi telah digunakan untuk menopang keuangan negara.
"Dan dengan Permenaker No. 2 Tahun 22, menghadapi gelombang-gelombang PHK akibat pandemi, alih-alih mendistribusikan risiko, Pemerintah telah menempatkan buruh sebagai pihak yang harus 'membayar' risiko krisis," ungkapnya.
"Karena dilarang untuk mencairkan tabungan JHT-nya, secara tak langsung buruh sedang dipaksa untuk menjaga stabilitas keuangan negara. Sementara stabilitas kebutuhan ekonomi mereka sendiri jika terkena PHK sama sekali tak diperhatikan Pemerintah," tandasnya.