Bisnis.com, JAKARTA - Politikus Partai Gerindra Fadli Zon angkat bicara menanggapi Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Program Jaminan Hari Tua (JHT).
Menurutnya, banyaknya penolakan yang terjadi saat ini dinilai merupakan hal wajar. Pasalnya, beleid tersebut sangat memberatkan bagi kalangan buruh.
"Saya lihat, mayoritas fraksi di parlemen, mayoritas pendapat publik juga telah menyampaikan penolakannya terhadap peraturan tersebut. Aturan itu dianggap menzalimi kepentingan kaum buruh," tulisnya dalam akun media sosial Twitter, Jumat (18/2/2022).
"Karena besarnya penolakan masyarakat tersebut, saya kira tak ada alasan bagi Presiden untuk mengabaikannya. Permenaker No. 2 Tahun 2022 sebaiknya memang segera dicabut agar tak menimbulkan gejolak sosial yang lebih besar," lanjutnya.
Menurut Fadli Zon, ada beberapa alasan kenapa Permenaker itu bisa dianggap telah menzalimi kaum buruh.
Baca Juga
Pertama, filosofi JHT sebenarnya adalah tabungan, yaitu agar kaum buruh masih punya tabungan saat mereka tak lagi bekerja, atau tak lagi menerima upah. Sehingga, teorinya, saat seseorang tak lagi menerima upah, maka ia seharusnya diperbolehkan mencairkan tabungannya.
"Nah, Permenaker No. 2 Tahun 2022 secara sepihak telah memaksa kaum buruh untuk menunda pencairan tabungan tadi hingga mencapai usia 56 tahun," jelasnya.
Padahal, di sisi lain, Pemerintah sendiri tidak bisa memberikan jaminan bahwa kaum buruh bisa terus bekerja dan menerima upah, atau tidak akan kehilangan pekerjaannya, hingga mencapai usia tersebut.
"Ini kan zalim. Bagaimana jika buruh kena PHK pada usia 35 tahun, 40 tahun, atau 45 tahun, dan tidak bisa lagi masuk ke bursa kerja di sektor formal, apakah mereka harus menunggu 21 tahun, 16 tahun, atau 11 tahun kemudian untuk mencairkan uangnya sendiri?" tanyanya.
Kedua, ia juga menanggapi terkait Pasal 2 Permenaker No. 2 Tahun 2022 yang memang memberikan opsi pencairan JHT sebelum usia 56, namun dengan syarat buruh mengalami cacat total tetap atau meninggal dunia.
"Lho, JHT ini adalah 'asuransi sosial' bagi orang yg kehilangan pekerjaan dan penghasilan, bukan asuransi jiwa atau kecelakaan kerja. Masak buruh harus mengalami cacat dulu, atau mati dulu hanya untuk mencairkan tabungannya? Aturan ini, selain zalim, juga aneh," ungkapnya.
Ketiga, yang juga sangat disayangkan yaitu kebijakan ini dirumuskan Pemerintah tanpa konsultasi publik terlebih dahulu dengan stakeholder terkait, terutama kaum buruh serta Komisi IX DPR RI.
Oleh karena itu, dengan melihat proses perumusannya yang tidak terbuka tersebut sehingga wajar jika banyak yang menyangsikan aturan itu akan memberikan manfaat positif bagi masyarakat, terutama kalangan buruh.
"Proses perumusannya saja sudah tidak fair dan tak terbuka, bagaimana isinya bisa fair jika begitu?" terangnya.