Bisnis.com, JAKARTA - Anggota parlemen Italia hari ini, Senin (24/1/2022) memberi suara mereka untuk pemilihan presiden baru setelah skandal yang menimpa Silvio Berlusconi meninggalkan mimpinya untuk menjadi kepala negara berikutnya.
Lebih dari 1.000 anggota parlemen dan delegasi regional akan berpartisipasi dalam pemungutan suara rahasia yang rumit.
Pemilihan mirip dengan penunjukan paus baru, dapat melalui beberapa putaran sebelum pengganti Presiden Sergio Mattarella, yang akan mundur pada 3 Februari, terpilih.
Pemenang mandat tujuh tahun itu membutuhkan mayoritas dua pertiga dalam tiga putaran pertama pemungutan suara. Tiga kali dalam sejarah pemilihan, presiden terpilih muncul di putaran pertama.
Berlusconi, yang pernah menjabat empat kali sebagai perdana menteri Italia, gagal mengumpulkan cukup dukungan untuk pencalonannya.
Dalam sepucuk surat yang tulus dia menulis bahwa dalam semangat “tanggung jawab nasional” dia meminta para pendukungnya untuk “menyerah” menunjuk dirinya sebagai kandidat seperti dikutip TheGuardian.com, Senin (24/1/2022).
Baca Juga
Kemarin, dia memeriksakan diri ke rumah sakit untuk pemeriksaan "rutin", kata juru bicaranya, meskipun dua sumber mengatakan bahwa dia telah berada di rumah sakit sejak Kamis. Bahkan, ada laporan di media Italia bahwa keluarganya mengkhawatirkan kesehatannya.
Meskipun tidak ada kandidat resmi dalam pemilihan presiden Italia, pria berusia 85 tahun itu melanggar tradisi dan berkampanye dengan memanggil anggota parlemen yang tidak terafiliasi untuk memanfaatkan mereka untuk mendapatkan suara.
Dia juga meningkatkan citra publiknya dengan menerbitkan iklan satu halaman penuh di surat kabar nasional yang menyoroti ciri-ciri kepribadiannya. Prestasinya membuatnya menjadi orang terbaik untuk jabatan itu.
Pengunduran dirinya menghilangkan hambatan untuk negosiasi calon yang disepakati bersama di antara para pemimpin partai politik. Namun, tidak ada kandidat yang jelas yang disebutkan.
Berlusconi, yang memimpin partai Forza Italia, memveto dukungan untuk perdana menteri saat ini, Mario Draghi, dengan alasan bahwa mantan kepala Bank Sentral Eropa ittu harus tetap menjadi perdana menteri sampai akhir 2023.
Draghi, yang dipuji karena memulihkan stabilitas dalam politik Italia, dipandang sebagai yang kandidat terdepan.
Masalah paling penting yang dipertaruhkan adalah kepatuhan pemerintah Italia terhadap reformasi yang harus diberlakukan untuk mengamankan angsuran dari dana pemulihan pascapandemi UE, di mana Italia adalah penerima manfaat terbesar.
Presiden Italia lebih banyak memainkan peran seremonial meski memiliki kewenangan untuk menyelesaikan krisis politik, memilih perdana menteri, mengadakan pemilihan awal dan menyetujui atau membatalkan undang-undang.
Mattarella terpaksa turun tangan beberapa kali untuk menyelesaikan krisis, termasuk menyerukan Draghi untuk membentuk pemerintahan persatuan pada Februari tahun lalu setelah pemerintahan yang dipimpin oleh Giuseppe Conte runtuh.
Draghi, 74, tidak membenarkan atau menyangkal minatnya untuk menjadi presiden. Vittorio Colao, Menteri Inovasi Teknologi dan mantan CEO Vodafone, dilaporkan sedang dipersiapkan untuk menggantikan Draghi sebagai perdana menteri.