Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi melanjutkan sidang dengan perkara nomorn106/PUU-XVIII/2020 terkait ganja untuk kesehatan. Ahli dari pemerintah ragukan argumen pemohon soal sisi positifnya.
Ahli Farmakologi Rianto Setiabudi mengatakan bahwa menghargai berbagai argumentasi yang dikemukakan para pakar pemohon yang berasal dari luar negeri.
“Namun agumentasi para pakar ini terasa kurang berimbang. Ini karena hampir semuanya hanya menekankan segi positif kanabis,” katanya saat memberikan keterangan pada persidangan, Kamis (20/1/2022).
Rianto menjelaskan bahwa bisa saja bahaya potensial dampak negatif dan kegagalan pengobatannya hampir tidak dibahas. Dampaknya, kurang membentuk opini yang objektif.
Bahan herbal atau sejenisnya jika digunakan secara tradisional umumnya tak ada masalah. Akan tetapi, tambah Rianto, menjadi berbeda saat diekstraksi.
Setidaknya ada beberapa pertanyaan yang masih menggantung dan tidak tertera pada argumentasi pemohon.
Pertama, berapa rasio yang paling optimal dari ganja untuk menghasilkan efek terapi pada manusia.
Kedua, apakah ada data studi praklinik minimal dua hewan coba. Begitu pula dengan data uji toksisitas akut, sub akut, kronis, serta studi teratogenisitas dari ganja untuk kesehatan.
Jika pada hewan, uji coba sudah lengkap dan menjanjikan, Rianto mempertanyakan penelitian yang dilanjutkan pada manusia dengan data uji klinik baik dari fase pertama hingga ketiga.
Berdasarkan dokumen yang dia baca, pemohon hanya menampilkan data uji klinik yang sebagiannya berkualitas rendah. Misalnya tidak ada pembanding tanpa penyamaran tanpa randomisasi.
Jumlah sampelnya pun kecil. Kemudian, tidak ada penjelasan mengenai standarisasi ganja hingga hasilnya tidak konsisten.
"Sesuai dengan kondisi semacam ini jelas belum mungkin dipertimbangkan penggunaan kanabis pada manusia untuk tujuan pengobatan. Setidaknya di Indonesia,” jelasnya.