Bisnis.com, JAKARTA -- Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan bahwa perkara dugaan penyalahgunaan kontrak satelit di Kementerian Pertahanan (Kemhan) segera naik ke penyidikan.
"Kami telah melakukan penelitian dan pendalaman atas kasus ini sudah hampir mengerucut insyaallah dalam waktu dekat naik penyidikan," kata Jaksa Agung dalam konferensi pers dikutip dari YouTube Kemenko Polhukam RI, Kamis (13/1/2022).
Putusan itu mewajibkan kepada pemerintah membayar uang yang sangat besar yang lahir dari sesuatu yang secara prosedural salah dan melanggar hukum.
“Sudah lama, melakukan kontrak dengan Avanti untuk melakukan sesuatu padahal anggarannya belum ada," ujarnya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md mengungkapkan adanya dugaan pelanggaran hukum di balik proyek satelit di Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015.
Akibat pelanggaran tersebut negara diduga mengalami kerugian hingga ratusan miliaran rupiah.
Baca Juga
Mahfud memaparkan bahwa perkara itu bermula dari penyalahgunaan kewenangan kontrak dalam pengelolaan Satelit untuk Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur yang terjadi sejak 2015 sampai saat ini.
Diketahui Kemhan meneken kontrak dengan Avanti, Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat meskipun belum tersedia anggaran.
"Kemudian Avanti menggugat pemerintah di London Court of International Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani sehingga pada 9 Juni 2019 Pengadilan Arbitrase di Inggris menjatuhkan putusan yang berakibat negara membayar untuk sewa satelit Artemis ditambah dengan biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filling sebesar Rp515 miliar. Jadi negara membayar Rp515 miliar untuk kontrak yang tidak ada dasarnya," ungkap Mahfud, Kamis (13/1/2022).
Selain itu, sambung Mahfud, pemerintah baru saja diputus oleh arbitrase di Singapura untuk membayar dengan nilai mencapai US$20.901.209 atau Rp304 miliar kepada Navayo.
“Kami sendiri kemudian melakukan audit investigasi,” imbuh Mahfud.