Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik duta besar luar biasa dan berkuasa penuh (Dubes LBBP) untuk sejumlah negara sahabat pada hari ini, Rabu (12/1). Salah satu yang dilantik menjadi dubes hari ini adalah Agus Widjojo, mantan Gubernur Lemhannas.
Dikutip melalui laman Sekretariat Kabinet (Setkab), sebanyak tiga orang dubes LBBP menjalani prosesi pelantikan di Istana Negara, Jakarta.
Pengangkatan para dubes LBBP RI ini tertuang dalam Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 4/P Tahun 2022 tentang Pengangkatan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh.
Ketiga dubes yang dilantik Jokowi hari ini yaitu Sunarko sebagai Duta Besar LBBP RI untuk Republik Sudan dan Fientje Maritje Suebu, Duta Besar LBBP RI untuk Selandia Baru merangkap Samoa, Kerajaan Tonga, Kepulauan Cook, dan Niue.
Selain itu, Jokowi juga melantik mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letnan Jenderal TNI (Purn.) Agus Widjojo sebagai Duta Besar LBBP RI untuk Republik Filipina merangkap Republik Kepulauan Marshall dan Republik Palau.
Dikutip dari laman Lemhannas, Agus Widjojo merupakan putra dari almarhum Mayor Jendral Sutoyo, salah seorang dari enam jendral yang terbunuh pada 30 September 1965 telah sukses membangun karier militer seperti sang ayah.
Baca Juga
Pria kelahiran 8 Juni 1947 ini kerap dijuluki sebagai tentara pemikir, sebab dirinya dikenal sebagai tokoh intelektual militer yang seringkali membuat gagasan baru untuk perkembangan militer di Indonesia.
Agus lulus dari Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada tahun 1970. Sebelum ditugaskan sebagai Kepala Staf Teritorial pada Panglima Komando TNI, dirinya merupakan Komando Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat.
Jabatan militer terakhirnya sebelum memasuki masa purnawira pada 2003 adalah sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mewakili Fraksi Militer dan Kepolisian Nasional.
Selama kiprahnya dalam dunia kemiliteran, Agus telah memainkan peran yang penting dalam pembaruan militer. Pada 1998, dia berpendapat bahwa militer seharusnya keluar dari lingkaran politik.
Pada 2010, dia juga mengajukan pendapat bahwa Komando Distrik Militer (Kodim) dan Komando Rayon Militer (Koramil) lebih baik dihapuskan. Dia menilai Kodim dan Koramil tidak memiliki fungsi pertahanan di daerah.
Menurutnya, komando teritorial terendah yang dapat melakukan fungsi pertahanan hanyalah Komando Resort Militer sehingga semua tanggung jawab teritorial lebih baik diserahkan kepada pemerintah daerah setempat.
Penghapusan tersebut sejalan dengan reformasi TNI untuk tidak lagi terlibat dalam politik dengan memusatkan perhatian pada peran pertahanan nasional dan tidak lagi terlibat dalam masalah keamanan dalam negeri.
Menurut Agus, pada masa lalu memang tidak ada pemisahan antara pembinaan teritorial dan komando teritorial, bahkan TNI juga terlibat dalam pembinaan teritorial yang sebenarnya menjadi urusan sipil.
Namun, sejak pemisahan Polri dan TNI untuk urusan ancaman dalam negeri, TNI tidak ikut campur karena hal itu sudah menjadi urusan pemda dan kepolisian. Agus menyebutkan, reformasi TNI pada hakikatnya merupakan pemurnian kembali peran dan kewenangan TNI sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945.
Agus Widjojo juga menjejakkan kakinya sebagai anggota Dewan Penasihat Lembaga Ketahanan Nasional, Institut Perdamaian dan Demokrasi di Universitas Udayana, Senior Fellow pada Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, dan Direktur Eksekutif Institut Tata Pemerintahan Demokrasi Nasional.
Sebelum dilantik sebagai Dubes RI untuk Filipina, Agus kembali menjadi perhatian publik karena mencuatkan kembali wacana pembentukan Kementerian Keamanan Dalam Negeri.
Dia menyampaikan Kementerian Keamanan Dalam Negeri nantinya dapat menaungi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Pasalnya, keamanan dalam negeri dapat dianggap sebagai tugas Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
“Di mana pun juga keamanan masuk portofolio dalam negeri, kemudian pelaksananya siapa? Dalam negeri fungsinya keamanan ketertiban masyarakat," ujar Agus.
Akan tetapi, dia menilai beban kerja Kemendagri terlampau banyak, sehingga akan lebih efektif jika ada Kementerian Keamanan Dalam Negeri.
“Untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban perlu ada penegakan hukum, itu Polri. Seyogyanya diletakkan di bawah salah satu kementerian, dan Polri seperti TNI, sebuah lembaga operasional. Operasional harus dirumuskan di tingkat menteri oleh lembaga bersifat politis, dari situ perumusan kebijakan dibuat, pertahanan oleh TNI, dan keamanan ketertiban oleh Polri," kata Agus.
Jika kementerian itu terbentuk, imbuhnya, Polri dapat fokus menjalankan tugasnya menegakkan hukum, mencegah pelanggaran hukum, melindungi masyarakat, dan menjaga keamanan serta memelihara ketertiban.
"Bukan untuk merumuskan keamanan dalam negeri," kata Agus pula.
Walaupun demikian, dia menyampaikan pembentukan Kementerian Keamanan Dalam Negeri masih sebatas wacana. Lemhannas belum secara resmi mengusulkan wacana itu kepada Presiden Jokowi