Bisnis.com, JAKARTA— Segelintir ekonom menilai bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat menurun di tengah pandemi, khususnya memasuki tahun politik pada 2022.
Ekonom Senior Rizal Ramli mengingatkan bahwa semua pihak tidak boleh terjebak dengan prospek perbaikan produk domestik bruto (PDB) pada tahun depan, tetapi harus melihat tingkat kesejahteraan masyarakat yang kian merosot saat memasuki tahun politik 2022.
Penilaian itu disampaikan Rizal Ramli dalam acara Gelora Talks bertajuk “Refleksi Akhir Tahun. Selamat Datang Tahun Politik. Bagaimana Nasib Indonesia di Masa Depan?” di Gelora Media Center dengan kata pengantar dari Ketua Umum DPN Partai Gelora Anis Matta, Rabu (29/12/2021).
Menurut Rizal Ramli, berita gembiranya adalah bahwa pada tahun depan akan terjadi kenaikan PDB dari 3-4 persen menjadi sekitar 5 persen. Kenaikan itu terdorong dari membaiknya harga komoditas sawit dan batu bara dan sejumlah komoditas lainnya.
Menurutnya, kenaikan PDB itu lebih terdorong akibat kondisi eksternal dengan kenaikan sejumlah komoditas unggulan Indonesia itu. Padahal, yang dibutuhkan adalah kemandirian ekonomi dan tidak bergantung pada kondisi eksternal. Perbaikan, ujarnya, bukan atas kinerja pemerintah secara internal.
Hanya saja, ujarnya, kenaikan PDB itu tidak akan dinikmati oleh kelompok masyarakat ekonomi kelas bawah karena mereka selain akan dihadapi oleh kenaikan harga kebutuhan pokok, juga akan menghadapi kesulitan likuiditas. Alasannya, likuiditas akan banyak terserap ke kelompok investor dan kelompok ekonomi menengah-atas dan oligarki yang berlomba membeli Surat Utang Negara (SUN) yang dijual dengan harga sangat menggiurkan.
“PDB akan ada perbaikan pada tahun depan, tapi bagi rakyat bawah akan makin sulit karena harga-harga akan naik seperti tarif listrik dan harga gas,” ujarnya pada acara diskusi yang juga dilakukan via zoom tersebut.
Pengamat Kebijakan Publik, Rocky Gerung dan Pengamat Hukum Tata Negara Margarito mengatakan belum ada tanda-tanda perbaikan dari sisi hukum dan dan politik di tahun 2022.
Dia menyoroti persoalan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak bisa dikoreksi maupun diawasi. Dia mencontohkan bagaimana kuatnya posisi lembaga negara itu dalam mengunci presidential threshold 20 persen kursi dan atau 25 persen suara bagi parpol maupun gabungan parpol untuk mengajukan calon presiden.
Menurutnya, bagaimana mungkin keputusan soal Undang-undang yang dihasilkan lembaga negara yang merepresentasikan kedaulatan rakyat bisa dibatalkan oleh MK.
“Lama-lama MK ini jadi despotik. Apa saja yang dibikin tidak bisa dikoreksi, pahala dia sedang menyatakan sebuah hukum, bagaimana mungkin MK bisa mereduksi keputusan orang yang dipilih rakyat,” ujarnya.
Dia juga mendukung langkah Partai Gelora yang akan mengajukan judicial review atas ambang batas pengajuan calon presiden tersebut. Jadi perlu ada koreksi dengan undang-undang Pemilu yang membatasi hak orang untuk maju sebagai calon presiden.