Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dukung Mendukung Berdasar Politisasi Agama Merusak Tatanan Sosial Masyarakat

Politisasi SARA amat merusak kohesi sosial.
Capres Prabowo Subianto dan cawapres Sandiaga Uno menolak hasil perhitungan pilpres 2019 oleh KPU, Selasa (21/5/2019). JIBI/Bisnis/Feni Freycinetia Fitriani
Capres Prabowo Subianto dan cawapres Sandiaga Uno menolak hasil perhitungan pilpres 2019 oleh KPU, Selasa (21/5/2019). JIBI/Bisnis/Feni Freycinetia Fitriani

Bisnis.com, JAKARTA- Gejala politik identitas berdasarkan politisasi agama yang didorong politisi dinilai mengkhawatirkan. Baru-baru ini Forum Ijtima Ulama dan Pemuda Islam Indonesia (PII) se-Jawa Barat (Jabar) mendeklarasikan dukungan terhadap Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno, yang juga politisi Partai Gerindra, sebagai calon presiden pada Pemilu 2024 mendatang.

Dukungan juga datang dari Pengasuh Pesantren As-Salafiyah I Sukabumi KH Lilik Abdul Kholiq. Disisi lain, politisasi agama seperti terstruktur karena dukungan dilakukan di tiap daerah. Deklarasi juga telah dilakukan di Jakarta yang dihadiri sejumlah tokoh, diantaranya Dedi Tuan Guru, Habib Fahiri, Masri Ikoni, Dede Ruba'i Misbahul Alam, Moh. Ahbab Hasbi, Aziz Yanuar, Habib Fahmi Alatas, Habib M. Reza Assegaf, Kana Kurniawan, Afandi Ismail, Yosse Hayatullah, Wizdan Fauran, dan Fahmi Faisal.

Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai, gejala politik identitas akan kembali mewarnai dinamika politik 2024 semakin menggeliat. Selama kurang lebih satu dekade, jagad politik nasional diguncang oleh politik identitas yang diperparah dengan propaganda ala post-truth.

Karyono menilai pelbagai narasi yang menggiring opini publik ke dalam inkubator politik SARA bertebaran di ruang publik. Aroma politik identitas semakin menyengat belakangan ini ketika kelompok islam politik yang tergabung dalam Ijtima Ulama mulai menampakkan arah dukungan kepada sejumlah tokoh yang digadang-gadang menjadi calon presiden 2024.

Klaim penilaian bahwa ada tokoh yang dekat dengan ulama dan diangggap mewakili aspirasi umat merupakan pandangan terlalu subyektif dan tak tepat.

"Klaim bahwa Sandiaga dianggap dekat ulama, pandangan tersebut terlalu subyektif, penilaiannya tidak berdasarkan realitas obyektif. Alasan dan pertimbangannya lebih menonjol kepentingan politik, kekuasan dan sentimen kelompok yang dibalut agama," ucap Karyono, Selasa (21/12/2021).

Menurut Karyono, pengalaman pada pemilu presiden 2014 dan 2019 harus menjadi pelajaran masyarakat terutama umat islam agar tidak terjebak dalam tipu muslihat para petualang politik yang menggunakan agama sebagai jubah dan barang dagangan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kekuasaan.

Faktanya, selama ini rakyat yang dirugikan, kerap menjadi korban dari konflik politik yang menggunakan isu SARA. Di era post truth, dampak penggunaan isu SARA lebih berbahaya dari isu lainnya. Daya rusaknya lebih dahsyat membuat nilai-nilai toleransi dan kebhinnekaan tergerus, serta kohesi sosial  merenggang.

"Oleh karena itu, Sandiaga, Anies dan tokoh lainnya yang memiliki hasrat maju sebagai capres cawapres harus bisa mengendalikan syahwat politik untuk tidak melakukan politisasi SARA hanya untuk kepentingan elektoral," tegas Karyono.

Sandi, Anies dan siapapun yang berharap menjadi capres cawapres mendatang perlu mengambil hikmah dari fakta empiris yang menunjukkan pasangan capres yang diserang dengan isu SARA dalam dua kali pilpres masih unggul dan memenangkan pemilihan.

Sebagai contoh, pada Pilgub DKI penggunaan politik identitas yang sangat massif memang berhasil menumbangkan Ahok sebagai kandidat yang "triple minority". Dia bukan hanya minoritas dari agama yang dianut dan minoritas dari etnik yang ada di Indonesia, pun merupakan pendatang bukan elit. 

"Hal yang paling penting untuk menjadi perhatian semua pihak adalah bahwa politisasi SARA merusak demokrasi dan toleransi, membelah persatuan bangsa dan meninggalkan luka dalam yang sulit disembuhkan," tegas Karyobo.

Dukungan yang diberikan oleh para ulama di Ijtima Ulama itu dianggap merupakan kreasi buruk, karena bisa merusak iklim demokrasi.

"Politik identitas adalah kreasi buruk praktik politik yang merusak kualitas demokrasi dan kualitas pemilu," kata Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasaini.

Terlebih, kata dia politik identitas tidak berpusat pada ide-ide dan agenda pembangunan yang diperdebatkan secara sehat, tetapi menggunakan identitas (agama) untuk memunculkan kepatuhan buta dalam menentukan pilihan politik elektoral.

"Politik identitas selalu diikuti dengan polarisasi dan menimbulkan dampak perpecahan di tengah masyarakat. Kohesi sosial akan terganggu dan jelas ini bertentangan dengan semangat kemajemukan di Republik Indonesia," ungkap dia.

Munculnya dukungan dari berbagai daerah terhadap salah satu calon, menandakan bahwa politik identitas masih mendapat tempat di tengah masyarakat dan bisa terus dimanfaatkan hingga Pemilu 2024.

"Dalam merespons ini, publik harus tetap jernih dalam mengikuti kontestasi politik, khususnya Pilpres," beber dia.

Publik, lanjut dia, harus tetap memusatkan perhatiannya pada kualitas perdebatan politik yang berhubungan langsung dengan aspirasi dan agenda-agenda kerakyatan.

"Soal perpecahan di tubuh Gerindra, masih terlalu dini untuk disimpulkan, karena bisa jadi ini bagian dari agenda test of the water menjajakan Sandi jelang kontestasi 2024," ungkap dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Kahfi

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper