Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menakar Pengaruh Boikot Diplomatik Olimpiade  Musim Dingin Beijing 2022

Menolak untuk berpartisipasi dalam Olimpiade mungkin akan meningkatkan kesadaran akan pelanggaran yang dituduhkan atas China.
Seorang perempuan melintas di dekat logo Olimpiade Musim Dingin 2022 Beijing saat tur obor di Universitas Telekomunikasi dan Pos Beijing, Beijing, China, Kamis (9/12/2021)./Antara-Reuters
Seorang perempuan melintas di dekat logo Olimpiade Musim Dingin 2022 Beijing saat tur obor di Universitas Telekomunikasi dan Pos Beijing, Beijing, China, Kamis (9/12/2021)./Antara-Reuters

Mendidik atau Menghukum?

Sementara itu, sejumlah kalangan bertanya, jika boikot penuh tidak dilakukan sekarang atas China yang dituduh melakukan genosida, lalu kapan akan diakukan?

Memang, Asosiasi Tenis Wanita (WTA) dipuji secara luas di Barat karena secara efektif memboikot China dengan menangguhkan semua turnamen di sana sebagai tanggapan atas pertanyaan lanjutan tentang kondisi Peng Shuai.

Hal itu merupakan merupakan contoh langka dari badan olahraga yang siap mengambil sikap seperti itu terhadap negara yang merupakan pasar komersial utama.

Menolak untuk berpartisipasi dalam Olimpiade mungkin akan meningkatkan kesadaran akan pelanggaran yang dituduhkan atas China.

Akan tetapi, langkah itu akan tampak sangat tidak adil bagi atlet yang tidak bersalah yang telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempersiapkan kesempatan seperti itu.

Mereka yang menentang langkah seperti itu beralasan bahwa boikot Perang Dingin pada Olimpiade 1980 dan 1984 memiliki dampak politik yang minimal. Para atlet malah pada akhirnya yang jadi korban.

Sementara itu, beberapa orang membalikkan argumen ini dan bersikeras bahwa terlibat dalam kompetisi olahraga, daripada memboikot, akan menciptakan kesempatan untuk melakukan diplomasi olahraga yang berharga. Artinya juga ada pengawasan internasional sehingga keduanya dapat menghasilkan perubahan positif.

Ini adalah argumen yang digunakan panitia Piala FA ketika ditanya tentang partisipasi dalam Piala Dunia 2022 di Qatar.

Asosiasi itu menyatakan meskipun ada reformasi, namun hak-hak pekerja tetap menjadi perhatian utama bagi organisasi hak asasi manusia.

“Pandangan kami tetap bahwa perubahan paling baik dicapai dengan bekerja secara kolaboratif dengan orang lain, sehingga kami dapat terus mengajukan pertanyaan yang tepat karena kami sadar bahwa kami juga memiliki tantangan hak asasi manusiai," menurut FA seperti dikutip BBC.com, Senin (13/12/2021).

Pada akhirnya tidak semua orang setuju. Tampaknya hanya ada sedikit bukti tentang kemajuan semacam itu di China setelah Olimpiade musim panas Beijing pada 2008. Begitu pula di Rusia setelah menggelar Olimpiade Musim Dingin 2014 dan Piala Dunia 2018.

Karena itulah tampaknya tidak banyak atlet, pemerintah, atau penggemar olahraga yang akan memboikot penuh Beijing 2022.

Kalau begitu, maka pertanyaan sekarang adalah: “Apa pentingnya banyak negara turut melakukan boikot diplomatik kalau langkah itu tidak menjanjikan sebuah solusi, apalagi sebuah pelajaran bagi para negara pelanggar hak asasi?”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Halaman Sebelumnya
Boikot Setengah Hati
Editor : Nancy Junita

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper