Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

LPSK Jamin Perlindungan 29 Saksi dan Korban Kekerasan Seksual di Bandung

LPSK juga mendorong Polda Jabar untuk dapat mengungkapkan dugaan kejahatan lain yang dilakukan pelaku yakni eksploitasi ekonomi serta kejelasan aliran dananya.
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak/Antara
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak/Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI memberikan perlindungan kepada 29 orang (12 orang di antaranya anak di bawah umur) yang terdiri dari pelapor, saksi sekaligus korban kekerasan seksual oleh pengasuh Ponpes Manarul Huda, Heri Irawan.

Para korban dan saksi ini kemarin, Rabu (7/12/2021) memberikan keterangannya dalam persidangan pemerkosaan terhadap anak oleh terdakwa Heri Irawan yang digelar di Pengadilan Negeri Kota Bandung. Saat memberikan keterangan di pengadilan, dari 12 orang anak di bawah umur yang diperkosa Heri, 7 di antaranya telah melahirkan anak.

Wakil Ketua LPSK, Livia Istania Iskandar, mengatakan LPSK terus mendampingi para korban dan saksi yang memberikan keterangan di pengadilan sejak November lalu. Menurutnya, serangkaian perlindungan mulai dari penjemputan, pendampingan dalam persidangan, akomodasi penginapan dan konsumsi serta pemulangan diberikan agar memastikan para saksi dalam keadaan aman dan tenang.

"Saat memberikan keterangan di persidangan, para saksi dan korban yang masih belum cukup umur selain bersama tim LPSK, juga didampingi orang tua atau walinya. Hal ini agar mereka merasa tenang dan tidak tertekan saat memberikan keterangan kepada majelis hakim sehingga membuat terang perkara dan dapat membuat pelaku dihukum sesuai perbuatannya," kata Livia, dalam keterangan resminya, Kamis (8/12/2021).

Selain pendampingan dan perlindungan, LPSK juga memberikan bantuan rehabilitasi psikologis bagi korban serta fasilitasi Penghitungan Restitusi yang berkasnya siap disampaikan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan Pengadilan Negeri Bandung. LPSK juga memberikan bantuan layanan medis saat salah satu saksi korban menjalani proses persalinan di RS.

"Kami meminta majelis hakim dapat memberikan hukuman yang sesuai bagi bagi pelaku karena sudah melakukan perbuatan keji yang di luar batas kemanusiaan. Terlebih lagi ini dilakukan di lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak-anak dalam mencari ilmu pengetahuan untuk masa depannya," kata Livia.

Selain itu, LPSK juga mendorong Polda Jabar untuk dapat mengungkapkan dugaan kejahatan lain yang dilakukan pelaku yakni eksploitasi ekonomi serta kejelasan aliran dananya, sehingga menjadi pertimbangan majelis hakim untuk menambah hukuman bagi pelaku.

Seperti diketahui, fakta persidangan mengungkapkan anak-anak yang dilahirkan oleh para korban pemerkosaan oleh pelaku dikatakan sebagai anak yatim piatu dan dijadikan alat untuk meminta dana kepada sejumlah pihak.

Parahnya lagi, dana Program Indonesia Pintar (PIP) untuk para korban juga diambil pelaku. Salah satu saksi memberikan keterangan, Ponpes mendapatkan dana BOS yang penggunaannya tidak jelas serta para korban dipaksa dan dipekerjakan sebagai kuli bangunan saat membangun gedung pesantren di daerah Cibiru.

Dalam melakukan aksi pemerkosaannya, para korban ditempatkan oleh pelaku dalam sebuah rumah yang dijadikan asrama Ponpes Manarul Huda. Pelaku membujuk dan memperkosa korban meskipun korban menolak dan melawan. Sehabis melakukan perbuatan kejinya, korban dijanjikan akan disekolahkan sampai tingkat universitas.

LPSK juga meminta Pemprov Jawa Barat dapat menjamin para santriwati korban perkosaan dapat kembali bersekolah atau mendapatkan layanan pendidikan yang layak dan berkualitas.

Pengungkapan kasus, pemberian hukuman yang berat dan setimpal serta perlindungan bagi korban, kata Livia, merupakan wujud nyata negara hadir. Terlebih lagi ini sejalan dengan kampanye Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang diperingati bulan November-Desember ini.

Selain korban, Livia juga mengingatkan anak-anak yang lahir akibat perkosaan harus mendapatkan perhatian dari Pemprov Jawa Barat, agar tumbuh kembangnya bisa berjalan baik.

Pasalnya, mereka lahir dari ibu yang masih berusia belasan tahun di mana belum siap menjadi orang tua. Bahkan, beberapa di antaranya berasal dari keluarga tidak mampu.

“Ini miris, karena sudah menjadi korban bukannya didukung malah tidak diterima untuk bersekolah. Temuan ini sudah kami sampaikan ke Gubernur Jabar untuk dilakukan upaya yang tepat bagi keberlangsungan pendidikan korban. Dukungan masyarakat penting agar korban bisa melanjutkan hidupnya secara normal. Stigmatisasi berdampak buruk bagi korban dan Pemprov Jabar harus memperhatikan ini," tegas Livia.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Wahyu Arifin
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper