Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

HUT TNI, Setara Institute Soroti Maraknya Kekerasan Aparat dan Akuntabilitas Peradilan Militer

Maraknya kasus kekerasan aparat dan persoalan akuntabilitas peradilan militer menjadi sorotan Setara Institute.
Prajurit Kopassus TNI AD melakukan unjuk kebolehan dalam peringatan HUT Ke-67 Kopassus di Mako Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur, Rabu (24/4/2019)./ANTARA-Sigid Kurniawan
Prajurit Kopassus TNI AD melakukan unjuk kebolehan dalam peringatan HUT Ke-67 Kopassus di Mako Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur, Rabu (24/4/2019)./ANTARA-Sigid Kurniawan

Bisnis.com, JAKARTA - Setara Institute menyoroti pentingnya pembenahan kinerja di tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Terlebih, lembaga pertahanan negara itu sudah berusia 76 tahun terhitung sejak Indonesia merdeka.

Peneliti HAM dan Keamanan Setara Institute Ikhsan Yosarie mengatakan, pembenahan itu diperlukan karena kasus kekerasan yang melibatkan aparat TNI terhadap masyarakat sipil hingga saat ini masih marak terjadi dan belum teratasi dengan baik.

Salah satu kendala yang menjadikan kasus kekerasan itu tidak terselesaikan, kata dia, karena minimnya akuntabilitas di peradilan militer.

"Persoalan kekerasan ini semakin sulit terselesaikan lantaran TNI masih “menikmati” privilege selama belum direvisinya UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer,” jelasnya dalam konferensi pers virtual, Senin (4/10/2021).

“Setara mencatat setidaknya terdapat 4 kasus yang mendapat sorotan publik luas terkait kekerasan aparat TNI terhadap masyarakat. Kasus-kasus tersebut terjadi di Merauke, Purwakarta, dan NTT,”tambahnya.

Selain itu, kasus dugaan penyiksaan yang dilakukan 11 prajurit TNI AD dari Batalyon Perbekalan Angkutan (Yon Bekang) 4/Air terhadap seorang warga bernama Jusni (24) hingga tewas di Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada 9 Februari 2020 juga sepatutnya menjadi evaluasi. 

Pasalnya, meski kasus itu sudah dilakukan pengusutan dan dibawa ke peradilan militer, tapi para pelaku ternyata hanya dituntut 1 sampai 2 tahun penjara.

"Kasus ini sama sekali tidak mencerminkan keadilan," kata Ikhsan.

Menurutnya, rendahnya tuntutan ini membuktikan proses persidangan berjalan tidak obyektif dan tidak adil. 

Terkait rendahnya tuntutan tersebut, kata dia, karena adanya dugaan terkait pemberian rekomendasi dari atasan agar Oditur Militer meringankan hukuman.

"Bentuknya adalah rekomendasi keringanan hukuman," ucap Ikhsan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Indra Gunawan

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper