Bisnis.com, JAKARTA - Setara Institute menyoroti pentingnya pembenahan kinerja di tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Terlebih, lembaga pertahanan negara itu sudah berusia 76 tahun terhitung sejak Indonesia merdeka.
Peneliti HAM dan Keamanan Setara Institute Ikhsan Yosarie mengatakan, pembenahan itu diperlukan karena kasus kekerasan yang melibatkan aparat TNI terhadap masyarakat sipil hingga saat ini masih marak terjadi dan belum teratasi dengan baik.
Salah satu kendala yang menjadikan kasus kekerasan itu tidak terselesaikan, kata dia, karena minimnya akuntabilitas di peradilan militer.
"Persoalan kekerasan ini semakin sulit terselesaikan lantaran TNI masih “menikmati” privilege selama belum direvisinya UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer,” jelasnya dalam konferensi pers virtual, Senin (4/10/2021).
Baca Juga
“Setara mencatat setidaknya terdapat 4 kasus yang mendapat sorotan publik luas terkait kekerasan aparat TNI terhadap masyarakat. Kasus-kasus tersebut terjadi di Merauke, Purwakarta, dan NTT,”tambahnya.
Selain itu, kasus dugaan penyiksaan yang dilakukan 11 prajurit TNI AD dari Batalyon Perbekalan Angkutan (Yon Bekang) 4/Air terhadap seorang warga bernama Jusni (24) hingga tewas di Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada 9 Februari 2020 juga sepatutnya menjadi evaluasi.
Pasalnya, meski kasus itu sudah dilakukan pengusutan dan dibawa ke peradilan militer, tapi para pelaku ternyata hanya dituntut 1 sampai 2 tahun penjara.
"Kasus ini sama sekali tidak mencerminkan keadilan," kata Ikhsan.
Menurutnya, rendahnya tuntutan ini membuktikan proses persidangan berjalan tidak obyektif dan tidak adil.
Terkait rendahnya tuntutan tersebut, kata dia, karena adanya dugaan terkait pemberian rekomendasi dari atasan agar Oditur Militer meringankan hukuman.
"Bentuknya adalah rekomendasi keringanan hukuman," ucap Ikhsan.