Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) menyesalkan adanya pembatalan sepihak terhadap guru honorer yang akan mengikuti seleksi Aparatur Sipil Negara (ASN) PPPK, lantaran yang bersangkutan dianggap tidak mendaftar formasi di sekolah induk. Padahal, mereka telah dinyatakan lulus verifikasi pemberkasan, memiliki nomor ujian dan berhasil mencetak kartu ujian.
“Implikasi dari hal tersebut adalah mereka tidak dapat mengikuti ujian seleksi PPPK tahap I dan terpaksa diarahkan mengikuti seleksi PPPK tahap II, guru sejarah honorer harus bersaing dengan pelamar lain dari jalur umum dengan jumlah formasi sisa yang semakin sedikit. Secara psikologis hal ini juga sangat merugikan guru sejarah honorer,” ujar Ketua AGSI Sumardiansyah, Selasa (14/9/2021).
Dikatakan, pembatalan sepihak adalah bentuk ketidakadilan yang muncul, salah satunya disebabkan oleh gagalnya Kemendikbudristek, Kemenpan-RB, BKN, BKD, dan dinas pendidikan melakukan sinergitas antarlembaga, serta belum optimalnya pola sosialisasi yang dilakukan terkait seleksi PPPK.
“Gagalnya sinergitas antar lembaga dan belum optimalnya pola sosialisasi, berakibat dirugikannya guru sejarah honorer,” jelas Sumardiansyah.
Terbukti, ujarnya, terjadi ketidaksinkronan data (anjab) antara sekolah, dinas pendidikan, BKD, BKN, Kemendikbudristek, dan Kemenag mengenai kebutuhan formasi yang diajukan, ketersediaan guru di lapangan, serta formasi yang dibuka dalam seleksi PPPK.
Dua Dokumen Beredar
Baca Juga
Beredar dua dokumen yaitu Surat Edaran Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Nomor 1460/B.B1/GT.02.01/2021 tentang Kualifikasi Akademik, dan Sertifikat Pendidik dalam Pendaftaran Pengadaan Guru PPPK Tahun 2021.
Keduanya memiliki kop dan nomor surat yang sama, namun terdapat perbedaan lampiran antar keduanya.
“Pada dokumen pertama sejarah disebutkan tidak linier dengan ekonomi, sosiologi, dan geografi, namun pada dokumen kedua disana disebutkan sejarah linier dengan ekonomi, sosiologi, dan geografi,” tuturnya.
Beredarnya 2 dokumen tersebut membawa implikasi kebingungan guru sejarah honorer dalam melihat linieritas yang berkenaan dengan pemilihan formasi di sekolah induk.
Selain itu, ujar Sumardiansyah, kebingungan guru sejarah honorer juga terjadi pada sistem SSCN.
Ketika sekolah induk tidak membuka formasi, sistem SSCN memberi kesempatan agar dilakukan reset yang kemudian diikuti oleh sebagian guru sejarah honorer melakukan reset dengan memilih formasi yang dibuka diluar sekolah induk dengan tetap memperhatikan kesesuaian linieritas.
“Namun belakangan mereka yang mengikuti langkah ini justru tidak mendapatkan tempat dan tanggal ujian dalam seleksi PPPK tahap I,” ungkapnya.
Menurut dia, seharusnya jika memang tidak diperkenankan memilih formasi di luar sekolah induk, maka ada penjelasan resmi dari panitia penyelenggara, kemudian sistem otomatis mengunci dan berikan penolakan sejak awal.
“Bukan justru sistem dibuka, sehingga guru sejarah honorer dapat memilih formasi di luar sekolah induk sampai kemudian mereka dinyatakan lulus verifikasi dan bisa mencetak kartu ujian.”
Maka dari itu, AGSI meminta Kemendikbudristek, Kementerian Agama, Kemenpan RB, BKN, BKD, dan pemerintah daerah (dinas pendidikan) memperbaiki sistem rekrutmen PPPK melalui sinergitas antarlembaga, pola sosialisasi yang efektif.