Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dinamika Awal Pemerintahan Joe Biden Versus Trump

Belum genap setahun berkuasa, kapabilitas Presiden Joe Biden sudah disejajarkan dengan pendahulunya hampir seabad silam, yaitu Franklin Delano Roosevelt yang meluncurkan paket New Deal untuk menyelamatkan ekonomi AS.
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden./Antara-Reuters
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden./Antara-Reuters

Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Joe Biden memang belum genap setahun memimpin Amerika Serikat. Seratus hari pemerintahannya jatuh pada 30 April lalu. Namun analis politik tampaknya masih getol membandingkan kinerja dan ‘gaya’ pemerintahan seorang presiden AS dengan pendahulunya saat periode awal berkuasa.

Bisa jadi hal ini karena pendahulu Biden adalah tokoh yang ‘istimewa’, yang telah membawa AS ke sebuah ‘wilayah yang sama sekali baru’ dengan pendekatannya yang khas: Make America Great Again.

Tidak terlalu berlebihan bila dikatakan perbedaan antara Biden dan Donald Trump ibarat ‘siang dan malam’ atau ‘bumi dan langit’.

Dalam kaitan itu, profil pemerintahan Biden bisa dilihat dari 100 hari pertama masa jabatannya. Tentu sah-sah saja dilanjutkan hingga saat ini. Dan sebaliknya bagaimana pula wajah pemerintahan Trump selama setahun memimpin Paman Sam?

Di kalangan media berpengaruh, Biden—presiden tertua dalam sejarah AS—umumnya banyak menuai simpati. Dia disebut melakukan pembalikan besar dari pemerintahan sebelumnya. Apabila janji (politik) adalah utang maka hal itu termasuk yang ditunaikannya.

Usia tak menghalanginya untuk membuat sebuah ‘revolusi’ dalam hal pergeseran kebijakan. Salah satu ‘kartu truf’ yang dimainkan Biden adalah guyuran paket stimulus ekonomi jumbo senilai US$1,9 triliun yang telah sah menjadi undang-undang (American Rescue Act).

Melalui payung hukum tersebut, ekonomi AS seolah menemukan kapasitas mesin yang memadai untuk tancap gas.

Sejak masa kampanye, Biden memang menyatakan akan fokus memerangi pandemi virus corona yang sudah menewaskan lebih dari setengah juta penduduk adidaya dunia itu.

Singkatnya, belum genap setahun berkuasa, kapabilitas politisi senior AS itu sudah disejajarkan dengan pendahulunya hampir seabad silam, yaitu Franklin Delano Roosevelt (FDR). Ketika memimpin rakyatnya, FDR juga menghadapi kondisi ekonomi yang runyam. Itulah ketika AS didera Depresi Besar.

Pada 4 Maret 1933, dia berpidato yang disiarkan langsung ke seluruh penjuru negeri. “Saya akan meminta Kongres memberi satu-satunya alat yang tersisa untuk mengatasi krisis, yaitu kekuasaan eksekutif luas untuk berperang  melawan keadaan darurat, sebesar kekuasaan yang bakal diberikan kepada saya bila kita sedang diserang musuh asing.”

Dengan pergulatan politik internal yang sangat tinggi, FDR akhirnya mendapatkan kekuasaan eksekutif itu, sehingga program New Deal yang ditujukan untuk melawan Depresi Besar bisa terlaksana. 

Situasi AS kini juga tak jauh berbeda. Pandemi global corona juga berdampak serius terhadap kesejahteraan rakyatnya secara luas. Kedaruratan akhirnya memaksa Biden ‘mengikuti’ langkah FDR agar ekonomi AS dan terutama masyarakatnya tidak makin sengsara terlibas Covid-19 dengan segala dampak sistemiknya.  

New Deal menjadi modal politik besar bagi FDR, sehingga dirinya sukses melaju ke kepemimpinan berikutnya di Gedung Putih. Akankah demikian pula suratan takdir Joe Biden? Kita tunggu saja.

Di sisi lain, kiprah Biden menuju setahun kepemimpinannya sulit ditemukan di periode yang sama saat Trump berkuasa.

Presiden dari Partai Republik itu terlihat begitu asyik melancarkan serangan retoris sengit ke lawan-lawannya. Dia menyebut media sebagai ‘musuh rakyat Amerika’, mempertanyakan legitimasi hakim, dan mengancam memotong pendanaan federal ke kota-kota besar.

Berbagai serangan itu memicu kegaduhan politik akut. Para jurnalis kompak pasang posisi di garis depan, mengungkap perilaku pelanggaran norma oleh presiden (Levitsky & Ziblatt, 2018).

Mengutip penelitian Shorenstein Center on Media, Politics, and Public Policy, kedua pakar politik asal AS itu mengungkapkan bahwa saluran-saluran berita utama tak kenal ampun dalam meliput 100 hari pertama pemerintahan Trump.

Dari berita bernada jernih, penelitian itu mendapati bahwa 80%-nya negatif, jauh lebih tinggi daripada Bill Clinton (60%), George W. Bush (57%), dan Barack Obama (41%).

Para pejabat pemerintahan Trump pun segera merasa terkepung. Tak pernah sepekan berlalu tanpa liputan pers yang setidaknya 70% negatif. Dan bahkan baru beberapa bulan menjabat, Presiden Trump sudah menghadapi isu pemakzulan.

“Tak ada politikus dalam sejarah, dan saya menyatakan ini dengan amat yakin, yang telah diperlakukan dengan lebih buruk atau lebih tak adil,” ujar Trump membela diri suatu ketika.

Intinya, menurut Levitsky dan Ziblatt, Presiden Trump menunjukkan permusuhan mencolok terhadap para wasit, yaitu penegak hukum, intelijen, badan etika, dan pengadilan.

“Presiden Trump menunjukkan naluri otoriter dengan jelas selama tahun pertamanya menjabat,” ungkap kedua ahli politik dari Universitas Harvard, AS tersebut. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Inria Zulfikar
Editor : Inria Zulfikar

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper