JAKARTA – Lebih dari setahun semua negara-negara kaya, sedang, dan miskin, berjibaku mengatasi pandemi Covid 19, dan miliaran dolar Amerika Serikat dihabiskan untuk mengatasinya dengan membeli vaksin, sediaan farmasi, alat-alat kesehatan dari Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan China, serta dari dalam negeri.
Uang sedemikian banyak juga dibelanjakan untuk penunjang sediaan-sediaan farmasi, alat-alat kesehatan, yang berupa sabun, hand sanitiser, termometer, alat pelindung diri, re-agent, alat penguji (testing kits) Covid-19, dan sebagainya.
Meski pemerintah, Satgas Covid-19, dan berbagai lapisan masyarakat sedang berjuang keras mengatasi Covid 19, jumlah korban beberapa pekan terakhir menunjukkan peningkatan.
Godfrey Budeli, konsultan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Adam & Adam News, Afrika Selatan dalam artikelnya menyatakan bahwa alkes-alkes palsu (counterfeiting goods) tidak hanya diimpor dari China yang masuk ke kawasan perdagangan bebas di Afrika, tetapi juga ada alkes-alkes palsu itu diekspor dari Afrika ke negara-negara Inggris, Spanyol, dan Italia.
Hal itu menjadi salah satu kendala mengurangi korban Covid-19 di Afrika Selatan. Beberapa hari yang lalu muncul juga informasi tentang banyak vaksin palsu beredar di India.
Di Indonesia kejahatan selama pandemi Covid-19 yang pernah diberitakan adalah penggunaan penguji swab yang digunakan beberapa kali di Bandara Kuala Namu di Sumatra Utara; imigran dari India dibebaskan dari karantina setelah menyuap oknum aparat di Bandara Soekarno Hatta; atau penjualan sertifikat covid palsu bagi penumpang pesawat.
Juga terjadi penumpang dari Indonesia setiba di Hong Kong ternyata dinyatakan positif Covid-19 walau hasil swab, atau PCR di Indonesia dinyatakan negatif sebelum penumpang itu berangkat.
Hal yang pernah terjadi juga, ada anggota masyarakat terkena Covid-19 walau telah divaksin dua kali. Bahkan ada pula yang dinyatakan negatif Covid-19, ternyata pasien itu meninggal.
Meski pemerintah berjibaku berupaya menvaksinasi masyarakat, dan kampanye pencegahan demikian gencar, korban Covid-19 tetap meningkat pesat sebulan terakhir. Hal-hal di atas menimbulkan pertanyaan apakah tenaga kesehatan (nakes) melakukan kelalaian administrasi atau hukum? Apakah vaksin, alat-alat kesehatan (alkes), sediaan-sediaan farmasi itu asli, palsu, atau asli tapi dipalsukan, tiruan, dan sebagainya?
Sejak terjadi pandemi Covid-19, kegiatan perekonomian menurun drastis. Di sisi lain kegiatan bisnis yang meningkat adalah bisnis alkes, sediaan-sediaan farmasi, dan alat-alat pendukung untuk mengatasi pandemi Covid-19.
Tidak sedikit muncul perusahaan-perusahaan baru yang memproduksi alkes, sediaan farmasi, atau menyediakan jasa kesehatan yang berkaitan dengan pencegahan dan/atau mengatasi pandemi Covid-19 yang relatif belum berpengalaman.
Produk-produk alkes, atau sediaan-sediaan farmasi yang terbatas jumlahnya kerap kali dijual dengan harga mahal, karena ketidak-seimbangan antara persediaan dengan permintaan, dan daya beli kebanyakan masyarakat.
Di sisi lain, terjadi alih kegiatan bisnis untuk memproduksi alkes, sediaan farmasi yang terjangkau, tetapi tidak diketahui apakah alkes-alkes itu memenuhi stándar yang ditetapkan oleh pemerintah; apakah alkes, sediaan farmasi, tes kesehatan itu asli, setengah asli, yang dipalsukan mampu mencegah pandemi atau akurat menguji seseorang terkena Covid 19?
Bisa juga terjadi karena jumlah produksi tercukupi bahkan berlebih sehingga harga jual atau biaya jasa kesehatan mengalami penurunan.
Jika sejak beberapa pekan terakhir terjadi peningkatan korban Covid-19, sepatutnya tidak hanya ditelaah karena berkembang pesat dampak varian Covid-19 Alpha, Beta, dan Delta, tetapi juga patut ditelaah apakah vaksin, alkes, sediaan-sediaan farmasi dan produk-produk pendukung pencegah atau pengurang penderita Covid-19 itu merupakan produk-produk asli, setengah asli, atau palsu yang memengaruhi kemanjuran untuk mencegah pandemi atau menyembuhkan pasien Covid-19.
Hal ini menjadi tugas tambahan pemerintah, khususnya Kementrian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan atau Kepolisian untuk melakukan penyelidikan agar upaya pengurangan pandemi Covid-19 efektif terjadi.
Salah satu cara menyelidiki apakah terjadi kejahatan HKI adalah menjejaki daerah-daerah yang masyarakatnya telah divaksin, atau masyarakatnya telah taat pada protokol kesehatan namun terjangkit juga Covid-19.
Apakah vaksin, sediaan-sediaan farmasi, atau alat-alat kesehatan di daerah itu telah memenuhi persyaratan atau merupakan produk-produk tiruan?
Bagi para pemilik paten, merek, rahasia dagang atau HKI yang memproduksi alkes, atau sediaan-sediaan farmasi yang dipalsukan akan sungkan mengadukan kepada pihak penegak hukum karena berdampak pada reputasi perusahaan dan menurunkan penjualannya. Juga karena sistem HKI menerapkan delik aduan.
Untuk itu, langkah tepat aparat penegak hukum mengadakan kotak pengaduan yang memberikan kesempatan kepada masyarakat mengadukan ketidakefektifan vaksin, alkes, atau sediaan farmasi yang tidak berkhasiat, dengan tetap melindungi jati diri pelapor, tanpa diancam pidana UU ITE.
Aparat penegak hukum aktif melakukan penyelidikan dengan mendasarkan pada UU Kesehatan No. 36/2009 dengan sanksi pidana maksimal 15 tahun dan denda Rp1,5 milar, atau KUH Pidana dengan sanksi pidana seumur hidup jika korban meninggal dunia karena dampak alkes, sediaan farmasi palsu.
Kedua hukum itu menerapkan delik biasa dan perlu inisiatif para penegak hukum untuk mengimplementasikannya.
*) Penulis adalah praktisi hukum, dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia FHUI dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti