Bisnis.com, JAKARTA - Wacana penambahan masa jabatan presiden dari dua menjadi tiga periode kembali menyeruak. Apalagi belum lama ini muncul komunitas Jokowi-Prabowo (JokPro) 2024 yang menginginkan Presiden Joko Widodo kembali menjabat di periode 2024-2029 berpasangan dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto atau rivalnya dalam Pilpres 2014 dan 2019 lalu.
Munculnya komunitas tersebut tentu saja mengejutkan banyak pihak. Selain tak sesuai dengan amanat UUD 1945 dan reformasi, wacana itu dinilai akan menghambat proses suksesi kepemimpinan serta lahirnya pemimpin baru di tingkat nasional.
Komunitas JokPro 2024 diinisiasi oleh Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari yang menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat menginginkan Jokowi kembali maju dalam Pilpres 2024 berpasangan dengan Prabowo. Pernyataan itu, dia kemukakan berdasarkan hasil dari sejumlah survei yang dilakukan belum lama ini.
Salah satunya yang terbaru adalah survei Saiful Munjani Research and Consulting (SMRC) yang menunjukkan 40 persen responden setuju dengan diusungnya pasangan Jokowi-Prabowo di Pilpres 2024. Adapun, survei sebelumnya adalah survei Parameter memperlihatkan bahwa hanya 27 persen responden setuju dengan rencana tersebut.
Qodari juga mengungkapkan beberapa alasannya dibalik dukungan kepada pasangan Jokowi-Prabowo di Pilpres 2024. Alasan yang paling kuat menurutnya adalah menurunkan tensi politik di Tanah Air yang memanas sejak Pilpres 2014.
“Pemilu kita, khususnya Pilpres, makin lama itu makin keras. Pemilu kita [pada 2019 dan 2014] saya lihat tidak sama dengan tahun 2004 dan 2009 karena sekarang kita hidup di zaman politik identitas yang menimbulkan benturan dan konfrontasi,” katanya pada Kamis (25/6/2021).
Baca Juga
Diharapkan dengan diusungnya Jokowi-Prabowo di Pilpres 2024 potensi gesekan atau konflik di tengah masyarakat bisa jauh berkurang. Pasalnya, menurut Qodari, bersatunya dua musuh bebuyutan di Pilpres 2014 dan 2019 itu paling tidak akan didukung oleh 80 persen partai politik dan paralel dengan peta politik saat ini.
Jika Jokowi-Prabowo benar-benar maju sebagai calon presiden dan wakil presiden dengan dukungan dari mayoritas partai politik, maka hampir bisa dipastikan lawan keduanya adalah kotak kosong.
“Kalau berhadapan dengan kotak kosong, pasti tensi politiknya akan turun sedemikian rupa sehingga pemilu berjalan dengan lancar,” pungkasnya.
Upaya Menjegal Prabowo
Politisi Partai Gerindra Fadli Zon beranggapan bahwa wacana penambahan masa jabatan presiden diikuti dengan deklarasi dukungan kepada Jokowi-Prabowo merupakan salah satu upaya untuk menjegal Prabowo Subianto pada Pilpres 2024. Seperti diketahui, Prabowo kemungkinan besar akan diusung kembali oleh Gerindra di ajang demokrasi lima tahunan itu,
“Kalau saya tentu sebagai orang Gerindra berharap Pak Prabowo yang maju. Jangan-jangan memajukan Jokowi-Prabowo ini adalah cara supaya Prabowo tidak maju [ke Pilpres 2024]. Bisa saja begitu kita membacanya,” katanya pada Kamis (25/6/2021).
Walaupun demikian, Fadli menilai masih terlalu dini untuk membicarakan perhelatan Pilpres 2024, apalagi mendeklarasikan dukungannya kepada tokoh tertentu. Terlebih saat ini Indonesia masih disibukkan dengan upaya penanganan pandemi Covid-19 yang kian mengganas.
“Menurut saya [ini] mengalihkan perhatian kita terhadap apa yang ada di depan mata kita, yaitu ekonomi dan pandemi Covid-19. Ini dua hal yang sangat genting,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Analisa Konstitusi dan Negara (Lasina) Tohadi menilai wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode merupakan kemunduran bagi reformasi yang melahirkan Amandemen Pasal 7 UUD 1945 tentang pembatasan masa jabatan presiden.
Adapun, alasan kesinambungan pembangunan yang seringkali dikaitkan dengan wacana tersebut menurut Tohadi tidak bisa diterima. Pasalnya, masih ada cara yang bisa dilakukan rezim saat ini untuk memastikan program pembangunan terus berkelanjutan.
“Tujuan adanya kesinambungan itu dapat diatur dalam UU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan UU tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN),” katanya pada Kamis (25/6/2021).
Kemudian yang tak kalah penting adalah perubahan pengaturan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang selama ini ditetapkan dalam peraturan presiden (perpres) menjadi undang-undang. Karena RPJMN yang diatur dalam perpres masih memiliki celah adanya ketidaksinambungan program-program antarpresiden yang berkuasa.
Terkait dengan mencuatnya wacana penambahan masa jabatan presiden, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menegaskan bahwa hingga saat ini tidak ada satupun usulan yang diajukan oleh anggota MPR atau partai pengusungnya untuk melakukan amandemen UUD 1945. Dia menyebut manuver politik soal perpanjangan masa jabatan presiden tak patut dilakukan di tengah kondisi kritis seperti saat ini.
“Di tengah pandemi Covid-19 yang makin mengganas, mestinya semua pihak tidak bermanuver yang menambah kegaduhan dan kegelisahan publik. Seperti manuver soal perpanjangan masa jabatan presiden karena Covid-19, maupun melalui referendum yang semuanya inkonstitusional,” katanya.
Pihak Istana Kepresidenan melalui Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachmat menyatakan bahwa Jokowi hingga saat ini masih memegang teguh amanat konstitusi dan menolak tegas wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Fadjroel Rahman seusai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (21/10/2019) - Bisnis/Amanda Kusumawardhani
Bukan Wacana Baru
Sebelumnya, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengungkapkan wacana penambahan masa jabatan presiden sebenarnya bukanlah hal baru. Wacana serupa sempat muncul di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menurut Lucius, munculnya wacana tiga periode didorong oleh ketakutan dari sosok yang memimpin maupun pihak-pihak yang memiliki kedekatan dengan sang pemimpin. Wacana tersebut disiapkan untuk menjaga kepentingan mereka yang tentunya bakal terganggu akibat hilangnya kekuasaan.
"Ini sesuatu yang natural saja, kekuasaan itu nikmat dan hampir pasti orang yang memegang kekuasaan selalu punya keinginan untuk memperpanjangnya. Karena itu saya kira tidak terlalu mengherankan ketika wacana ini muncul," katanya, Rabu (25/6/2021).
Lebih lanjut, Lucius menyebut dirinya menyangsikan tidak adanya keterlibatan partai politik di balik wacana penambahan masa jabatan presiden yang mencuat belakangan ini. Pasalnya, berdasarkan pengalaman di era pemerintahan sebelumnya, salah satu partai politik mengakui adanya rencana amandemen konstitusi untuk penambahan masa jabatan presiden.
"Pengakuan di akhir 2018 dari PKS [Partai Keadilan Sejahtera] misalnya, [mereka] jelas-jelas mengatakan ada pembicaraan terkait [penambahan] masa jabatan presiden ini dengan rencana mereka mengamandemen konstitusi,” ungkapnya.
Lucius belum bisa memastikan apakah saat ini sudah ada pembicaraan terkait amandemen UUD 1945 di DPR maupun MPR. Namun yang jelas, dia meyakini wacana perpanjangan masa jabatan presiden yang mencuat saat ini merupakan bagian dari skenario politik 'umpan pancing'.